86. Walaupun penampilan lahiriah Tuhan yang berinkarnasi benar-benar serupa dengan manusia, dan walaupun Dia belajar pengetahuan manusia dan berbicara bahasa manusia, dan terkadang Dia bahkan mengungkapkan gagasan-Nya melalui metode dan cara bicara manusia, tetapi cara Dia memandang manusia, dan memandang esensi segala sesuatu sama sekali berbeda dengan cara manusia yang rusak memandang manusia dan esensi segala sesuatu. Sudut pandang dan ketinggian tempat-Nya berdiri adalah sesuatu yang tak tergapai bagi seseorang yang rusak. Ini karena Tuhan adalah kebenaran, karena daging yang Dia kenakan juga memiliki esensi Tuhan, dan pemikiran-Nya serta apa yang diungkapkan oleh kemanusiaan-Nya adalah juga kebenaran. Bagi manusia yang rusak, apa yang Dia ungkapkan dalam daging adalah perbekalan kebenaran dan hidup. Perbekalan ini bukan hanya untuk satu orang, melainkan untuk semua manusia. Di dalam hati manusia yang rusak, hanya terdapat beberapa orang saja yang berkaitan dengan dirinya. Mereka hanya memedulikan dan mengkhawatirkan segelintir orang ini saja. Ketika bencana datang, pertama-tama mereka memikirkan anak, pasangan, atau orang tua mereka sendiri. Paling banter, seseorang yang lebih berbelas kasihan mungkin akan sedikit memikirkan beberapa kerabat atau teman baik, tetapi apakah pemikiran seseorang yang bahkan berbelas kasihan seperti itu pun akan melebihi dari itu? Tidak, tidak akan pernah! Itu karena bagaimanapun juga, manusia adalah manusia, dan mereka hanya dapat melihat segala sesuatu dari sudut pandang dan ketinggian seorang manusia. Akan tetapi, Tuhan yang berinkarnasi sama sekali berbeda dari manusia yang rusak. Sebiasa apa pun, senormal apa pun, dan sehina apa pun daging dari Tuhan yang berinkarnasi, atau bahkan serendah apa pun orang memandang-Nya, pemikiran dan sikap-Nya terhadap umat manusia adalah sesuatu yang tidak bisa dimiliki seorang manusia pun, sesuatu yang tidak mungkin ditiru seorang manusia pun. Dia akan selalu mengamati manusia dari sudut pandang keilahian, dari ketinggian kedudukan-Nya sebagai Sang Pencipta. Dia akan selalu memandang manusia melalui esensi dan pola pikir Tuhan. Dia sama sekali tidak bisa memandang umat manusia dari ketinggian yang hina seorang manusia kebanyakan, dan dari sudut pandang seorang yang rusak. Ketika orang memandang manusia, mereka memandangnya dengan menggunakan penglihatan manusia, dan mereka menggunakan hal-hal seperti pengetahuan, peraturan dan teori manusia sebagai tolak ukur. Ini berada dalam lingkup hal-hal yang bisa dilihat manusia dengan mata mereka dan lingkup yang bisa dicapai oleh manusia yang rusak. Ketika Tuhan memandang manusia, Dia memandangnya dengan menggunakan penglihatan ilahi, dan Dia menggunakan esensi-Nya dan apa yang Dia miliki dan siapa diri-Nya sebagai tolak ukur. Lingkup ini meliputi hal-hal yang tidak bisa dilihat manusia, dan di sinilah terletak perbedaan sepenuhnya antara Tuhan yang berinkarnasi dan manusia yang rusak. Perbedaan ini ditentukan oleh esensi yang berbeda antara manusia dan Tuhan—perbedaan esensi inilah yang menentukan identitas dan kedudukan mereka, sekaligus juga sudut pandang dan ketinggian tempat mereka memandang berbagai hal.
Dikutip dari "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri III" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"