Menu

Tentang Ayub

Setelah mengetahui bagaimana Ayub menjalani ujian, sebagian besar dari antaramu mungkin ingin mengetahui lebih terperinci tentang Ayub itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan rahasia bagaimana dia mendapatkan pujian Tuhan. Jadi sekarang, mari kita membahas tentang Ayub!

Dalam Kehidupan Sehari-hari Ayub, Kita Melihat Hidupnya yang Tak Bercela, Kejujuran, Sikap Takut akan Tuhan, dan Menjauhi Kejahatan

Jika kita akan membahas tentang Ayub, kita harus mulai dengan penilaian tentang dia yang diucapkan dari mulut Tuhan sendiri: “Tidak ada seorang pun seperti dia di bumi, yang demikian tak bercela dan jujur, yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan.”

Pertama, mari kita belajar tentang hidup Ayub yang tak bercela dan kejujurannya.

Apa pemahaman engkau semua, mengenai kata “tak bercela” dan “jujur”? Apakah engkau percaya bahwa Ayub itu tanpa cela, bahwa dia terhormat? Tentu saja, ini merupakan penafsiran dan pemahaman harfiah dari kata “tak bercela” dan “jujur”. Namun konteks kehidupan nyata merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan untuk memperoleh pemahaman yang benar tentang Ayub—perkataan, buku-buku, dan teori saja tidak akan memberikan jawaban apa pun. Kita akan memulai dengan melihat kehidupan keluarga Ayub, seperti apa perilaku normalnya selama hidupnya. Ini akan memberitahukan kepada kita tentang prinsip dan tujuan hidupnya, serta tentang kepribadian dan pengejarannya. Sekarang, mari kita membaca kalimat terakhir dalam Ayub 1:3: “Orang ini adalah yang terkaya di antara semua orang di Timur”. Yang dimaksud dengan kalimat ini adalah bahwa status dan kedudukan Ayub sangat tinggi, dan meskipun kita tidak diberi tahu apakah alasan dia adalah yang terbesar di antara semua orang di Timur adalah karena kekayaannya yang melimpah, atau karena dia tak bercela dan jujur serta takut akan Tuhan sementara menjauhi kejahatan, secara keseluruhan, kita tahu bahwa status dan kedudukan Ayub sangat dihargai. Sebagaimana dicatat dalam Alkitab, kesan pertama orang tentang Ayub adalah bahwa Ayub tak bercela, bahwa dia takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, dan bahwa dia memiliki kekayaan melimpah dan status yang terhormat. Bagi orang biasa yang tinggal di lingkungan seperti itu dan dalam keadaan seperti itu, makanan Ayub, taraf hidupnya, dan berbagai aspek kehidupan pribadinya akan menjadi fokus perhatian kebanyakan orang; jadi, kita harus melanjutkan membaca Alkitab: “Anak-anak lelakinya pergi dan berpesta di rumah mereka, setiap hari bergiliran; dan mengundang ketiga saudari mereka untuk makan dan minum bersama-sama dengan mereka. Demikianlah, setelah hari-hari pesta berakhir, Ayub memanggil mereka dan menguduskan mereka; dia bangun pagi-pagi benar dan mempersembahkan korban bakaran sesuai dengan jumlah anak-anaknya: karena Ayub berkata: ‘Mungkin saja anak-anak lelakiku sudah berbuat dosa dan mengutuki Tuhan dalam hati mereka.’ Demikianlah yang senantiasa dilakukan Ayub” (Ayub 1:4-5). Ayat-ayat ini memberitahukan kepada kita dua hal: Yang pertama adalah putra dan putri Ayub biasa berpesta, dengan banyak makan dan minum; yang kedua adalah bahwa Ayub kerap kali mempersembahkan korban bakaran karena dia sering mengkhawatirkan putra dan putrinya, takut mereka berbuat dosa, bahwa di dalam hati mereka, mereka telah meninggalkan Tuhan. Di sini dijelaskan kehidupan dari dua jenis orang yang berbeda. Yang pertama, putra dan putri Ayub, sering berpesta karena kekayaan mereka, hidup mewah, makan dan minum sepuas hati mereka, dan menikmati taraf hidup yang tinggi karena kekayaan materi. Menjalani kehidupan seperti itu, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka akan sering berdosa dan menyinggung Tuhan—tetapi mereka tidak menguduskan diri mereka sendiri atau mempersembahkan korban bakaran. Jadi, jelas bahwa Tuhan tidak memiliki tempat di hati mereka, bahwa mereka tidak memikirkan kasih karunia Tuhan, ataupun takut menyinggung Tuhan, apalagi takut meninggalkan Tuhan di dalam hati mereka. Tentu saja, fokus perhatian kita bukan pada anak-anak Ayub, tetapi pada apa yang Ayub lakukan ketika diperhadapkan dengan hal-hal seperti itu; ini adalah masalah lainnya yang dijelaskan pada ayat itu, dan yang melibatkan kehidupan sehari-hari Ayub serta esensi kemanusiaannya. Di mana Alkitab menjelaskan pesta putra dan putri Ayub, tidak disebutkan tentang Ayub; hanya dikatakan bahwa putra dan putrinya sering makan dan minum bersama. Dengan kata lain, Ayub tidak mengadakan pesta, dan dia juga tidak bergabung dengan putra dan putrinya dalam makan secara berlebihan. Meskipun kaya dan memiliki banyak harta benda dan pembantu, kehidupan Ayub bukanlah kehidupan yang mewah. Dia tidak teperdaya oleh lingkungan hidupnya yang kaya, dan dia tidak, karena kekayaannya, memanjakan dirinya sendiri dengan kenikmatan daging atau lupa mempersembahkan korban bakaran, apalagi menyebabkan dia secara berangsur-angsur meninggalkan Tuhan di dalam hatinya. Maka, jelaslah bahwa Ayub disiplin dalam gaya hidupnya, tidak serakah atau mengejar kesenangan sebagai hasil dari berkat Tuhan kepadanya, dan dia juga tidak terpaku pada taraf hidup. Sebaliknya, dia rendah hati dan sederhana, dia juga tidak suka pamer, dan dia waspada serta berhati-hati di hadapan Tuhan. Dia sering memikirkan kasih karunia dan berkat Tuhan, dan terus-menerus memiliki hati yang takut akan Tuhan. Dalam kehidupannya sehari-hari, Ayub sering bangun pagi-pagi untuk mempersembahkan korban bakaran bagi putra-putrinya. Dengan kata lain, Ayub sendiri tidak hanya takut akan Tuhan, tetapi dia juga berharap anak-anaknya juga takut akan Tuhan dan tidak berbuat dosa terhadap Tuhan. Kekayaan materi Ayub tidak memiliki tempat di dalam hatinya, dan hal itu juga tidak menggantikan kedudukan yang ditempati oleh Tuhan; apakah demi dirinya sendiri atau anak-anaknya, tindakan sehari-hari Ayub semuanya berkaitan dengan sikapnya yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Sikap takutnya akan Tuhan Yahweh tidak berhenti di perkataannya, tetapi merupakan sesuatu yang dia terapkan dan tercermin dalam setiap bagian kehidupannya sehari-hari. Perilaku nyata Ayub ini menunjukkan kepada kita bahwa dia jujur, dan memiliki hakikat yang mencintai keadilan dan hal-hal yang positif. Bahwa Ayub sering memanggil dan menguduskan putra-putrinya berarti dia tidak mendukung atau menyetujui perilaku anak-anaknya; sebaliknya, di dalam hatinya dia merasa muak akan perilaku mereka dan mengutuk mereka. Dia menyimpulkan bahwa perilaku putra-putrinya itu tidak menyenangkan Tuhan Yahweh, dan karena itu dia sering memanggil mereka untuk menghadap Tuhan Yahweh dan mengakui dosa mereka. Tindakan Ayub menunjukkan kepada kita sisi lain dari kemanusiaannya, di mana dia tidak pernah berjalan bersama orang yang sering berbuat dosa dan menyinggung Tuhan, melainkan menjauhi dan menghindari mereka. Meskipun orang-orang ini adalah putra dan putrinya, dia tidak meninggalkan prinsip perilakunya sendiri karena mereka adalah keluarganya sendiri, dan dia juga tidak membiarkan dosa-dosa mereka karena perasaannya sendiri. Sebaliknya, dia mendesak mereka untuk mengakui dan memperoleh pengampunan Tuhan Yahweh, dan dia memperingatkan mereka agar tidak meninggalkan Tuhan demi kesenangan mereka sendiri yang tamak. Prinsip bagaimana Ayub memperlakukan orang lain tidak dapat dipisahkan dari prinsip sikapnya yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Dia mencintai apa yang diterima oleh Tuhan, dan membenci apa yang ditolak Tuhan; dan dia mencintai mereka yang takut akan Tuhan di dalam hati mereka dan membenci mereka yang melakukan kejahatan atau berbuat dosa terhadap Tuhan. Cinta dan kebencian seperti ini ditunjukkan dalam kehidupannya sehari-hari, dan merupakan kejujuran Ayub yang dilihat oleh mata Tuhan. Tentu saja, ini juga merupakan ungkapan dan cara hidup kemanusiaan sejati Ayub dalam hubungannya dengan orang lain dalam kehidupannya sehari-hari yang harus kita pelajari.

Perwujudan Kemanusiaan Ayub selama Mengalami Ujian dari Tuhan (Memahami Hidupnya yang Tak Bercela, Kejujurannya, Sikapnya yang Takut akan Tuhan dan Menjauhi Kejahatan Selama Mengalami Ujian dari Tuhan)

Apa yang telah kita bahas di atas adalah berbagai aspek kemanusiaan Ayub yang ditunjukkan dalam kehidupannya sehari-hari sebelum pencobaan yang dialaminya. Tidak diragukan lagi, berbagai perwujudan ini memberikan pengenalan awal dan pemahaman tentang kejujuran, tentang sikap Ayub yang takut akan Tuhan, dan menjauhi kejahatan, dan secara alami memberikan penegasan awal. Alasan mengapa Aku mengatakan “awal” adalah karena kebanyakan orang masih tidak memiliki pemahaman yang benar tentang kepribadian Ayub dan sejauh mana dia mengejar jalan ketundukan dan takut akan Tuhan. Dengan kata lain, pemahaman kebanyakan orang tentang Ayub tidak lebih dalam dari kesan yang cukup baik tentang dia yang diuraikan oleh dua ayat dalam Alkitab yang memuat perkataannya: “Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh” dan “Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?” Jadi, ada keharusan besar bagi kita untuk memahami bagaimana Ayub menghidupi kemanusiaannya ketika dia menerima ujian dari Tuhan; dengan demikian, kemanusiaan sejati Ayub akan diperlihatkan kepada semua orang secara keseluruhan.

Ketika Ayub mendengar bahwa harta benda miliknya telah dicuri, bahwa putra dan putrinya telah kehilangan nyawa mereka, dan bahwa para hambanya telah terbunuh, dia bereaksi sebagai berikut: “Lalu Ayub bangun, mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian tersungkur dan menyembah” (Ayub 1:20). Kalimat ini memberitahukan kepada kita satu fakta: setelah mendengar berita ini, Ayub tidak panik, dia tidak menangis, atau menyalahkan para hamba yang telah menyampaikan berita itu kepadanya, apalagi memeriksa tempat kejadian perkara untuk menyelidiki dan memastikan rinciannya serta mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak menunjukkan rasa sakit atau penyesalan karena kehilangan harta benda miliknya, juga tidak menangis karena kehilangan anak-anaknya dan orang-orang yang dicintainya. Sebaliknya, dia mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, lalu tersungkur dan menyembah. Tindakan Ayub tidak sama dengan tindakan manusia biasa. Tindakannya membingungkan banyak orang, dan membuat mereka menegur Ayub di dalam hati mereka karena “sikap dinginnya”. Saat kehilangan harta benda mereka secara mendadak, orang normal akan tampak sedih atau putus asa—atau, dalam kasus sebagian orang, mereka bahkan mungkin mengalami depresi berat. Itu karena, di dalam hati mereka, harta benda manusia melambangkan usaha seumur hidup—Itulah yang diandalkan bagi kelangsungan hidup mereka, harapanlah yang membuat mereka tetap hidup; hilangnya harta benda mereka berarti usaha mereka sia-sia, bahwa mereka tanpa harapan, dan bahkan mereka tidak punya masa depan. Inilah sikap orang biasa terhadap harta benda mereka dan hubungan mereka yang erat dengan semua itu, dan ini juga menunjukkan pentingnya harta benda di mata manusia. Karena itu, sebagian besar orang merasa bingung dengan sikap Ayub yang acuh tak acuh terhadap kehilangan harta bendanya. Sekarang, kita akan menghilangkan kebingungan yang dirasakan semua orang ini dengan menjelaskan apa yang sedang terjadi di dalam hati Ayub.

Akal sehat menyatakan bahwa, karena telah diberi harta yang melimpah oleh Tuhan, Ayub seharusnya merasa malu di hadapan Tuhan karena kehilangan harta ini, karena dia tidak menjaga atau merawatnya; karena dia tidak memelihara harta yang diberikan Tuhan kepadanya. Jadi, ketika dia mendengar bahwa harta bendanya telah dicuri, reaksi pertamanya seharusnya pergi ke tempat kejadian perkara dan mencatat semua yang telah telah hilang, dan kemudian mengaku dosa kepada Tuhan sehingga dia dapat sekali lagi menerima berkat Tuhan. Namun, Ayub tidak melakukan ini, dan dia tentu punya alasannya sendiri untuk tidak melakukannya. Dalam hatinya, Ayub sangat percaya bahwa semua yang dia miliki telah dianugerahkan kepadanya oleh Tuhan, dan bukan berasal dari hasil kerja kerasnya sendiri. Dengan demikian, dia tidak melihat semua berkat ini sebagai sesuatu yang harus dimanfaatkan, melainkan melabuhkan prinsip-prinsip kelangsungan hidupnya untuk berpegang dengan segenap kekuatannya pada jalan yang seharusnya dipertahankan. Dia menghargai berkat Tuhan dan mengucap syukur atas berkat itu, tetapi dia tidak terpikat oleh berkat, dan dia juga tidak mencari berkat yang lebih banyak lagi. Seperti itulah sikapnya terhadap harta benda. Dia tidak melakukan apa pun demi mendapatkan berkat, dan dia juga tidak khawatir atau dirugikan karena kurangnya atau hilangnya berkat Tuhan; dia tidak menjadi liar, bahagia berlebihan karena berkat Tuhan, dan dia juga tidak mengabaikan jalan Tuhan atau melupakan kasih karunia Tuhan oleh karena berkat yang sering dia nikmati. Sikap Ayub terhadap harta bendanya mengungkapkan kepada orang-orang kemanusiaannya yang sejati: Pertama, Ayub bukanlah manusia yang tamak dan dia tidak banyak menuntut dalam kehidupan materielnya. Kedua, Ayub tidak pernah khawatir atau takut bahwa Tuhan akan mengambil semua yang dia miliki, yang merupakan sikap tunduknya kepada Tuhan di dalam hatinya; artinya, dia tidak memiliki tuntutan ataupun keluhan tentang kapan atau apakah Tuhan akan mengambil darinya atau tidak, dan tidak menanyakan alasannya, tetapi hanya berusaha untuk menaati pengaturan Tuhan. Ketiga, dia tidak pernah menganggap hartanya berasal dari usahanya sendiri, tetapi semuanya dianugerahkan kepadanya oleh Tuhan. Inilah iman Ayub kepada Tuhan, dan merupakan tanda keyakinannya. Apakah kemanusiaan Ayub dan pengejarannya sehari-hari yang sebenarnya sudah jelas dalam ringkasan tiga poin tentang dirinya ini? Kemanusiaan dan pengejaran Ayub merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perilakunya yang tenang ketika diperhadapkan dengan kehilangan harta bendanya. Justru karena pengejaran sehari-harinya, Ayub memiliki tingkat pertumbuhan dan keyakinan untuk berkata: “Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh”, selama ujian dari Tuhan. Perkataan ini tidak diperoleh dalam semalam, dan perkataan ini juga tidak baru saja muncul di pikiran Ayub. Perkataan ini adalah apa yang telah dilihat dan diperolehnya selama bertahun-tahun menjalani hidup. Dibandingkan dengan semua orang yang hanya mencari berkat Tuhan dan yang takut bahwa Tuhan akan mengambil dari mereka, dan yang membenci serta mengeluhkan tentang hal itu, bukankah ketaatan Ayub ini sangat nyata? Dibandingkan dengan semua orang yang percaya bahwa Tuhan itu ada, tetapi yang tidak pernah percaya bahwa Tuhan mengatur segala sesuatu, bukankah Ayub memiliki ketulusan dan kejujuran yang luar biasa?

Rasionalitas Ayub

Pengalaman nyata Ayub dan kemanusiaannya yang jujur dan tulus memungkinkan dia membuat penilaian dan pilihan yang paling rasional ketika dia kehilangan harta benda dan anak-anaknya. Pilihan rasional seperti ini tidak dapat dipisahkan dari pengejarannya sehari-hari dan perbuatan Tuhan yang telah dia ketahui selama kehidupannya sehari-hari. Kejujuran Ayub membuatnya mampu untuk percaya bahwa tangan Yahweh berkuasa atas segalanya; keyakinannya membuatnya dapat mengetahui fakta kedaulatan Tuhan Yahweh atas segala sesuatu; pengetahuannya membuatnya mau dan mampu untuk tunduk kepada kedaulatan dan pengaturan Tuhan Yahweh; ketundukan Ayub memampukannya menjadi semakin setia dalam takutnya akan Tuhan Yahweh; sikap takutnya membuatnya semakin nyata dalam menjauhi kejahatan, akhirnya, Ayub menjadi tak bercela karena dia takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan; dan hidupnya yang tak bercela membuatnya bijaksana dan memberinya rasionalitas tertinggi.

Bagaimana seharusnya kita memahami kata “rasional” ini? Penafsiran harfiahnya adalah bahwa dalam pemikirannya, seseorang itu masuk akal, logis, dan berakal sehat, memiliki perkataan, tindakan, dan penilaian yang sehat, serta memiliki standar moral yang kuat dan teratur. Namun, rasionalitas Ayub tidak semudah itu untuk dijelaskan. Ketika dikatakan di sini bahwa Ayub memiliki rasionalitas tertinggi, ini dikatakan dalam hubungan dengan kemanusiaannya dan perilakunya di hadapan Tuhan. Karena Ayub jujur, dia mampu memercayai dan tunduk terhadap kedaulatan Tuhan, yang memberinya pengetahuan yang tidak dapat diperoleh orang lain, dan pengetahuan ini membuatnya mampu secara lebih akurat membedakan, menilai, dan mendefinisikan apa yang menimpa dirinya, yang memungkinkan dia untuk lebih akurat dan cermat memutuskan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dipegang teguh. Dengan kata lain, perkataan, perilaku, prinsip-prinsip di balik tindakannya, dan pedoman yang dengannya dia bertindak, teratur, jelas, dan spesifik, serta tidak sembarangan, impulsif, ataupun emosional. Dia tahu bagaimana memperlakukan apa pun yang menimpa dirinya, dia tahu bagaimana menyeimbangkan dan menangani hubungan antara peristiwa-peristiwa rumit, dia tahu bagaimana berpegang teguh pada jalan yang harus dipegang teguh, dan selain itu, dia tahu bagaimana memperlakukan pemberian dan pengambilan oleh Tuhan Yahweh. Inilah rasionalitas Ayub. Justru karena Ayub diperlengkapi dengan rasionalitas seperti itulah dia berkata: “Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh”, ketika dia kehilangan harta benda dan putra-putrinya.

Ketika Ayub diperhadapkan dengan rasa sakit yang luar biasa pada tubuhnya, dan dengan protes dari para kerabat dan sahabatnya, dan ketika diperhadapkan dengan kematian, perilaku Ayub yang sebenarnya kembali menunjukkan wajah aslinya kepada semua orang.

Watak Ayub Sesungguhnya: Benar, Murni, dan Tanpa Kepalsuan

Mari kita membaca Ayub 2:7-8: “Lalu Iblis pergi dari hadapan Yahweh dan menimpakan Ayub dengan bisul yang busuk dari telapak kaki sampai ubun-ubun kepalanya. Lalu Ayub mengambil sepotong beling untuk menggaruk-garuk dirinya; dan duduk di tengah-tengah abu.” Ini adalah penjelasan tentang perilaku Ayub ketika bisul yang busuk muncul di sekujur tubuhnya. Pada saat ini, Ayub duduk di tengah-tengah abu saat dia menahan rasa sakit. Tak seorang pun merawatnya, dan tak seorang pun membantunya mengurangi rasa sakit di tubuhnya; sebaliknya, dia menggunakan sepotong beling untuk menggaruk-garuk permukaan bisulnya yang busuk. Sepintas, ini hanyalah sebuah tahap dalam siksaan Ayub, dan tidak ada hubungannya dengan kemanusiaan Ayub dan sikapnya yang takut akan Tuhan, karena Ayub tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk mengungkapkan suasana hati dan pandangannya pada saat ini. Namun, tindakan Ayub dan perilakunya masih merupakan ungkapan sejati dari kemanusiaannya. Dalam catatan di pasal sebelumnya, kita membaca bahwa Ayub adalah orang terkaya di antara semua orang di Timur. Sementara itu, ayat dari pasal kedua menunjukkan kepada kita bahwa orang terkaya di Timur ini betul-betul memungut sepotong beling untuk menggaruk-garuk tubuhnya sambil duduk di tengah abu. Bukankah terdapat perbedaan yang jelas antara kedua uraian ini? Ini adalah perbedaan yang menunjukkan kepada kita jati diri Ayub yang sesungguhnya: meskipun status dan kedudukannya yang bergengsi, dia tidak pernah mencintai atau memperhatikan hal-hal ini; dia tidak peduli bagaimana orang lain memandang kedudukannya, dan dia juga tidak peduli apakah tindakan atau perilakunya akan menimbulkan dampak negatif pada kedudukannya; dia tidak memanjakan dirinya dengan manfaat dari status, dan dia juga tidak menikmati kemuliaan yang menyertai status dan kedudukannya. Dia hanya peduli tentang nilai dirinya dan makna penting kehidupannya di mata Tuhan Yahweh. Jati diri Ayub yang sesungguhnya adalah hakikatnya sendiri: dia tidak mencintai ketenaran dan kekayaan, dan tidak hidup demi ketenaran dan kekayaan; dia benar dan murni, serta tanpa kepalsuan.

Pemisahan Cinta dan Kebencian Ayub

Sisi lain dari kemanusiaan Ayub ditunjukkan dalam percakapan antara dia dan istrinya: “Lalu kata istrinya kepadanya: ‘Apakah engkau masih mempertahankan kesalehanmu? Kutuklah Tuhan dan matilah!’ Tetapi dia menjawab istrinya: ‘Engkau berbicara seperti perempuan bodoh. Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?’” (Ayub 2:9-10). Melihat siksaan yang dideritanya, istri Ayub mencoba memberi saran kepada Ayub untuk membantunya melepaskan diri dari kesengsaraannya, tetapi “niat baik”-nya tidak mendapatkan persetujuan Ayub; sebaliknya, itu membangkitkan amarahnya, karena istrinya mengingkari iman dan ketundukan Ayub kepada Tuhan Yahweh, dan juga menyangkal keberadaan Tuhan Yahweh. Hal ini tidak dapat ditoleransi oleh Ayub karena dia tidak pernah membiarkan dirinya sendiri melakukan apa pun yang menentang atau menyakiti Tuhan, apalagi orang lain. Bagaimana dia bisa tetap tidak peduli ketika dia melihat orang lain mengucapkan perkataan yang menghujat dan menghina Tuhan? Karena itu, dia menyebut istrinya “wanita bodoh”. Sikap Ayub terhadap istrinya adalah kemarahan dan kebencian, serta teguran dan celaan. Ini adalah ungkapan alami kemanusiaan Ayub—membedakan antara cinta dan benci—dan merupakan representasi sejati dari kemanusiaannya yang jujur. Ayub memiliki rasa keadilan—yang membuatnya membenci angin dan gelombang kejahatan, dan membenci, mengutuk, serta menolak pembangkangan yang tidak masuk akal, perdebatan konyol, dan pernyataan yang menggelikan, dan membuat dia berpegang teguh pada prinsip dan pendiriannya sendiri yang benar ketika dia ditolak oleh orang banyak dan ditinggalkan oleh orang-orang yang dekat dengannya.

Kebaikan Hati dan Ketulusan Ayub

Karena, dari perilaku Ayub, kita dapat melihat ungkapan berbagai aspek kemanusiaannya, kemanusiaan Ayub macam apa yang kita lihat ketika dia membuka mulutnya untuk mengutuk hari kelahirannya? Inilah topik yang akan kita bahas di bawah ini.

Di atas, Aku telah membahas tentang asal mula kutukan Ayub mengenai hari kelahirannya. Apa yang dapat engkau semua pahami tentang hal ini? Jika Ayub keras hati dan tanpa kasih, jika dia dingin dan tanpa emosi, dan kehilangan kemanusiaannya, mungkinkah dia telah menunjukkan perhatian kepada maksud Tuhan? Mungkinkah dia membenci hari kelahirannya sendiri karena dia memedulikan hati Tuhan? Dengan kata lain, jika Ayub keras hati dan kehilangan kemanusiaannya, mungkinkah dia merasa sedih karena kepedihan Tuhan? Mungkinkah dia mengutuk hari kelahirannya karena Tuhan telah dirugikan karena dirinya? Jawabannya sama sekali tidak! Karena dia baik hati, Ayub memedulikan hati Tuhan; karena dia memedulikan hati Tuhan, Ayub merasakan kepedihan Tuhan; karena dia baik hati, dia menderita siksaan yang lebih besar sebagai akibat dari merasakan kepedihan Tuhan; karena dia merasakan kepedihan Tuhan, dia mulai membenci hari kelahirannya, dan dengan demikian mengutuk hari kelahirannya. Bagi orang luar, seluruh perilaku Ayub selama ujiannya patut dicontoh. Hanya kutukannya mengenai hari kelahirannya yang menimbulkan tanda tanya mengenai hidupnya yang tak bercela dan kejujurannya, atau memberikan penilaian yang berbeda terhadapnya. Sebenarnya, ini adalah ungkapan paling sejati dari esensi kemanusiaan Ayub. Esensi kemanusiaannya tidak disembunyikan atau ditutupi atau diperbaiki oleh orang lain. Ketika dia mengutuk hari kelahirannya, dia menunjukkan kebaikan hati dan ketulusan yang tertanam jauh di lubuk hatinya; dia seperti mata air yang airnya sangat jernih dan bening sehingga memperlihatkan dasarnya.

Setelah mengetahui semua ini tentang Ayub, kebanyakan orang pasti akan membuat penilaian yang cukup akurat dan objektif tentang esensi kemanusiaan Ayub. Mereka seharusnya juga memiliki pemahaman yang mendalam, praktis, dan lebih maju serta penghargaan terhadap hidupnya yang tak bercela dan kejujuran Ayub seperti yang dibicarakan oleh Tuhan. Semoga, pemahaman dan penghargaan ini akan membantu orang-orang memulai jalan takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan.

—Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, “Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II”

Tinggalkan komentar