Menu

Tuhan Harus Memusnahkan Sodom

Kejadian 18:26 Lalu Yahweh berfirman: “Jika Aku mendapati lima puluh orang benar di dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka.”

Kejadian 18:29 Lalu Abraham berkata kepada-Nya lagi: “Misalkan ada empat puluh orang benar didapati di sana.” Dia berfirman: “Aku tidak akan melakukannya.”

Kejadian 18:30 Dan dia berkata kepada-Nya: “Misalkan ada tiga puluh orang benar ditemukan di sana.” Dia berfirman: “Aku tidak akan berbuat demikian.”

Kejadian 18:31 Katanya, “Misalkan ada dua puluh orang benar didapati di sana.” Dia berfirman: “Aku tidak akan menghancurkannya.”

Kejadian 18:32 Dan dia berkata: “Misalkan ada sepuluh orang benar didapati di sana.” Dia berfirman: “Aku tidak akan menghancurkannya.”

Ini adalah beberapa kutipan yang telah Kupilih dari Alkitab. Kutipan ini bukan versi asli yang lengkap. Jika engkau semua ingin melihat versi lengkapnya, engkau semua dapat melihatnya sendiri di Alkitab; untuk menghemat waktu, Aku telah menghilangkan sebagian dari isi aslinya. Di sini Aku hanya memilih beberapa ayat dan kalimat yang penting, mengabaikan beberapa kalimat yang tidak ada hubungannya dengan topik persekutuan kita sekarang. Dalam semua ayat dan isi yang kita persekutukan, fokus kita akan melewatkan rincian kisah dan perilaku manusia dalam kisah-kisah tersebut; sebagai gantinya, kita hanya akan membicarakan tentang pemikiran dan gagasan Tuhan pada saat itu. Dalam pemikiran dan gagasan Tuhan, kita akan melihat watak Tuhan, dan dari segala sesuatu yang Tuhan lakukan, kita akan melihat Tuhan yang benar itu sendiri—di sini, kita akan mencapai tujuan kita.

Tuhan Hanya Memedulikan Mereka yang Mampu Menaati Firman-Nya dan Mengikuti Perintah-Nya

Ayat-ayat di atas mengandung beberapa kata kunci: jumlah. Pertama, Yahweh berkata jika Dia mendapati lima puluh orang benar di dalam kota, Dia akan mengampuni seluruh tempat itu, yang artinya, Dia tidak akan memusnahkan kota tersebut. Jadi, sebenarnya, apakah ada lima puluh orang benar di kota Sodom? Tidak ada. Segera setelah itu, apa yang Abraham katakan kepada Tuhan? Dia berkata, misalkan ada empat puluh didapati di sana? Dan Tuhan berkata, Aku tidak akan melakukannya. Selanjutnya, Abraham berkata, misalkan ada tiga puluh didapati di sana? Dan Tuhan berkata, Aku tidak akan melakukannya. Misalkan ada dua puluh? Aku tidak akan melakukannya. Sepuluh? Aku tidak akan melakukannya. Sebenarnya, adakah sepuluh orang benar di kota itu? Tidak ada sepuluh—tetapi hanya ada satu. Dan siapakah satu orang ini? Dia adalah Lot. Pada waktu itu, hanya ada satu orang benar di Sodom, tetapi apakah Tuhan bersikap sangat ketat atau menuntut dalam hal jumlah ini? Tidak! Jadi, ketika manusia terus bertanya, “Bagaimana kalau empat puluh?” “Bagaimana kalau tiga puluh?” hingga dia sampai pada “Bagaimana kalau sepuluh?” Tuhan berkata: “Bahkan jika hanya ada sepuluh, Aku tidak akan memusnahkan kota itu; Aku akan mengampuninya, dan mengampuni orang-orang lain selain yang sepuluh ini.” Jika hanya ada sepuluh, itu akan sangat menyedihkan, tetapi ternyata, pada kenyataannya, bahkan jumlah itu tidak ada di kota Sodom. Jadi, jelas bahwa bahwa di mata Tuhan, dosa dan kejahatan orang-orang kota itu sudah sedemikian rupa sehingga Tuhan tidak punya pilihan selain memusnahkan mereka. Apakah maksud Tuhan ketika Dia mengatakan bahwa Dia tidak akan memusnahkan kota itu jika ada lima puluh orang benar? Jumlah ini tidak penting bagi Tuhan. Yang penting adalah apakah di kota tersebut terdapat orang benar yang Dia inginkan atau tidak. Apabila hanya ada satu orang benar di kota itu, Tuhan tidak akan membiarkan mereka celaka oleh karena pemusnahan-Nya atas kota tersebut. Ini berarti bahwa, terlepas dari apakah Tuhan akan memusnahkan kota itu atau tidak, dan berapa pun jumlah orang benar yang ada di dalamnya, bagi Tuhan, kota yang penuh dosa ini terkutuk dan memuakkan, harus dimusnahkan dan harus lenyap dari mata Tuhan, sementara orang benar harus terluput. Tanpa memandang zaman, tanpa memandang tahap perkembangan umat manusia, sikap Tuhan tidak berubah: Dia membenci kejahatan, dan peduli terhadap orang-orang yang benar di mata-Nya. Sikap Tuhan yang jelas ini juga merupakan penyingkapan sejati dari hakikat Tuhan. Karena hanya ada satu orang benar di dalam kota itu, Tuhan tidak ragu lagi. Hasil akhirnya adalah Sodom mau tidak mau harus dimusnahkan. Apa yang engkau semua lihat di sini? Pada zaman itu, Tuhan tidak akan memusnahkan sebuah kota jika terdapat lima puluh orang benar di dalamnya, atau jika terdapat sepuluh orang benar, yang berarti Tuhan memutuskan untuk mengampuni dan bersikap toleran terhadap umat manusia, atau akan melakukan pekerjaan pembimbingan, karena beberapa orang yang mampu takut akan Dia dan menyembah-Nya. Tuhan sangat menghargai perbuatan benar manusia, Dia sangat menghargai orang-orang yang mampu menyembah-Nya dan Dia sangat menghargai orang-orang yang mampu melakukan perbuatan baik di hadapan-Nya.

Dari masa-masa paling awal sampai sekarang, pernahkah engkau semua membaca di dalam Alkitab tentang Tuhan menyampaikan kebenaran, atau berbicara tentang jalan Tuhan kepada siapa pun? Tidak, tidak pernah. Firman Tuhan kepada manusia yang kita baca hanya memberitahukan kepada manusia apa yang harus dilakukan. Sebagian orang pergi dan melakukannya, sebagian lagi tidak; sebagian orang percaya, dan sebagian tidak. Hanya itu saja. Jadi, orang benar pada zaman itu—mereka yang benar di mata Tuhan—hanyalah mereka yang dapat mendengar firman Tuhan dan mengikuti perintah Tuhan. Mereka adalah para hamba yang melaksanakan firman Tuhan di antara manusia. Dapatkah orang-orang semacam itu disebut orang-orang yang mengenal Tuhan? Dapatkah mereka disebut orang-orang yang disempurnakan Tuhan? Tidak. Jadi, terlepas dari jumlah mereka, di mata Tuhan, apakah orang-orang benar ini layak disebut orang-orang kepercayaan Tuhan? Dapatkah mereka disebut saksi-saksi Tuhan? Tentu saja tidak! Mereka tentu saja tidak layak disebut sebagai orang-orang kepercayaan dan saksi Tuhan. Jadi, bagaimana Tuhan menyebut orang-orang semacam ini? Dalam Alkitab Perjanjian Lama, ada banyak contoh Tuhan menyebut mereka “hamba-Ku”. Dengan kata lain, pada saat itu, di mata Tuhan, orang-orang benar ini adalah hamba-hamba Tuhan, mereka adalah orang-orang yang melayani-Nya di bumi. Dan bagaimana pendapat Tuhan tentang sebutan ini? Mengapa Dia menyebut mereka demikian? Apakah Tuhan memiliki standar dalam hati-Nya untuk sebutan yang digunakan-Nya untuk memanggil manusia? Tentu saja. Tuhan memiliki standar, terlepas dari apakah Dia menyebut mereka orang benar, tak bercela, jujur, atau hamba. Ketika Dia menyebut seseorang hamba-Nya, Dia sangat yakin bahwa orang ini mampu menerima para utusan-Nya, mampu mengikuti perintah-Nya, dan mampu melaksanakan apa yang diperintahkan oleh para utusan. Apa sajakah yang dilaksanakan orang ini? Mereka melaksanakan apa yang Tuhan perintahkan untuk dilakukan dan dilaksanakan di bumi. Pada waktu itu, dapatkah hal yang Tuhan minta manusia lakukan dan laksanakan di bumi disebut sebagai jalan Tuhan? Tidak. Karena pada waktu itu, Tuhan hanya meminta manusia untuk melakukan beberapa hal sederhana; Dia mengucapkan beberapa perintah sederhana, menyuruh manusia untuk melakukan ini atau itu, dan tidak lebih dari itu. Tuhan bekerja sesuai dengan rencana-Nya. Karena, pada waktu itu, banyak kondisi yang masih belum ada, waktunya belum matang, dan sulit bagi umat manusia untuk menanggung jalan Tuhan, dengan demikian, jalan Tuhan belum mulai dinyatakan dari hati Tuhan. Tuhan melihat orang-orang benar yang Dia bicarakan, yang kita lihat di sini—entah tiga puluh atau dua puluh—sebagai hamba-hamba-Nya. Ketika para utusan Tuhan mendatangi hamba-hamba ini, mereka akan dapat menerima dan mengikuti perintah mereka, dan bertindak sesuai dengan perkataan mereka. Inilah tepatnya yang harus dilakukan dan dicapai oleh mereka yang dahulu merupakan hamba di mata Tuhan. Tuhan itu bijaksana dalam penyebutan-Nya untuk manusia. Dia menyebut mereka hamba-Nya bukan karena mereka seperti engkau semua sekarang—karena mereka telah mendengar banyak khotbah, mengetahui apa yang akan Tuhan lakukan, mengerti banyak maksud Tuhan dan memahami rencana pengelolaan-Nya—tetapi karena kemanusiaan mereka jujur dan mereka mampu mematuhi firman Tuhan; ketika Tuhan memberi perintah, mereka mampu mengesampingkan apa yang sedang mereka lakukan dan melaksanakan apa yang Tuhan perintahkan. Jadi, bagi Tuhan, makna lain dari sebutan hamba adalah bahwa mereka bekerja sama dengan pekerjaan-Nya di bumi, dan meskipun mereka bukan para utusan Tuhan, mereka adalah para pelaku dan pelaksana firman Tuhan di bumi. Jadi, jelas bahwa bahwa para hamba atau orang-orang benar ini sangat penting di hati Tuhan. Pekerjaan yang Tuhan akan mulai di bumi tidak dapat terlaksana tanpa adanya orang-orang yang bekerja sama dengan-Nya, dan peran yang dijalankan para hamba Tuhan ini tidak dapat digantikan oleh para utusan Tuhan. Setiap tugas yang Tuhan perintahkan kepada hamba-hamba ini sangat penting bagi-Nya, dan karenanya Dia tidak dapat kehilangan mereka. Tanpa kerja sama para hamba ini dengan Tuhan, pekerjaan-Nya di antara umat manusia akan terhenti. Sebagai akibatnya, rencana pengelolaan Tuhan dan harapan Tuhan akan menjadi sia-sia.

Tuhan Berlimpah dengan Belas Kasihan terhadap Mereka yang Dia Pedulikan, dan Sangat Murka terhadap Mereka yang Dia Benci dan Tolak

Dalam catatan Alkitab, apakah terdapat sepuluh orang hamba Tuhan di Sodom? Tidak! Apakah kota itu layak diampuni oleh Tuhan? Hanya satu orang di kota—Lot—yang menerima utusan Tuhan. Artinya hanya ada satu orang hamba Tuhan di kota itu, dan dengan demikian, Tuhan tidak punya pilihan selain menyelamatkan Lot dan memusnahkan kota Sodom. Dialog antara Abraham dan Tuhan yang dikutip di atas mungkin tampak sederhana, tetapi dialog itu menggambarkan sesuatu yang sangat mendalam, yaitu: ada prinsip di balik tindakan-tindakan Tuhan, dan sebelum mengambil keputusan Dia akan menghabiskan waktu yang lama untuk mengamati dan mempertimbangkan; Dia pasti tidak akan mengambil keputusan atau menarik kesimpulan apa pun sebelum saat yang tepat tiba. Dialog antara Abraham dan Tuhan menunjukkan kepada kita bahwa keputusan Tuhan untuk memusnahkan Sodom sama sekali tidak salah, karena Tuhan sudah tahu bahwa di kota tersebut tidak terdapat empat puluh orang benar, juga tidak terdapat tiga puluh orang benar, atau dua puluh. Bahkan sepuluh pun tidak ada. Satu-satunya orang benar di kota itu adalah Lot. Semua yang terjadi di Sodom dan bagaimana keadaannya diamati oleh Tuhan, dan diketahui oleh Tuhan sejelas punggung tangan-Nya sendiri. Jadi, keputusan-Nya tidak mungkin salah. Sebaliknya, dibandingkan dengan kemahakuasaan Tuhan, manusia sangat mati rasa, sangat bodoh dan bebal, sangat picik. Inilah yang kita lihat dalam dialog antara Abraham dan Tuhan. Tuhan telah menyatakan watak-Nya dari sejak semula hingga sekarang. Demikian pula di sini, ada watak Tuhan yang seharusnya bisa kita lihat. Jumlah-jumlah tersebut adalah hal yang sederhana—semua itu tidak menunjukkan apa pun—tetapi ada pengungkapan watak Tuhan yang sangat penting di sini. Tuhan tidak akan memusnahkan kota itu karena lima puluh orang benar. Apakah ini karena belas kasihan Tuhan? Apakah ini karena kasih dan toleransi-Nya? Pernahkah engkau semua melihat sisi dari watak Tuhan ini? Bahkan seandainya hanya ada sepuluh orang benar, Tuhan tidak akan memusnahkan kota itu oleh karena kesepuluh orang benar ini. Bukankah ini adalah toleransi dan kasih Tuhan? Karena belas kasihan, toleransi dan kepedulian Tuhan terhadap orang-orang benar itu, Dia tidak akan memusnahkan kota itu. Inilah toleransi Tuhan. Dan pada akhirnya, hasil apa yang kita lihat? Ketika Abraham berkata: “Misalkan ada sepuluh orang benar didapati di sana.” Tuhan berkata: “Aku tidak akan memusnahkannya.” Setelah itu, Abraham tidak berkata apa-apa lagi—karena di dalam kota Sodom tidak terdapat sepuluh orang benar yang dia sebutkan, dan tidak ada lagi yang perlu dikatakannya, dan pada saat itulah dia memahami kenapa Tuhan berketetapan untuk memusnahkan Sodom. Dalam hal ini, watak Tuhan apa yang kaulihat? Ketetapan macam apakah yang Tuhan buat? Tuhan berketetapan bahwa, jika di kota ini tidak terdapat sepuluh orang benar, Dia tidak akan mengizinkan keberadaannya, dan mau tidak mau harus memusnahkannya. Bukankah inilah murka Tuhan? Apakah murka ini merepresentasikan watak Tuhan? Apakah watak ini merupakan penyingkapan hakikat kekudusan Tuhan? Apakah ini merupakan penyingkapan hakikat kebenaran Tuhan, yang tidak boleh disinggung manusia? Setelah memastikan bahwa tidak ada sepuluh orang benar di Sodom, Tuhan pun berkeyakinan untuk memusnahkan kota itu, dan menghukum berat orang-orang di dalam kota tersebut, karena mereka menentang Tuhan, dan karena mereka begitu kotor dan rusak.

Mengapa kita menganalisis ayat-ayat ini dengan cara seperti ini? Itu karena beberapa kalimat sederhana ini mengungkapkan secara penuh watak Tuhan yaitu belas kasihan yang berkelimpahan serta murka yang mendalam. Pada saat yang sama ketika Dia menghargai orang benar, berbelas kasihan, menoleransi, dan memedulikan mereka, di dalam hati Tuhan terdapat kebencian yang dalam terhadap semua orang di Sodom yang telah rusak. Bukankah ini belas kasihan yang berkelimpahan dan murka yang mendalam? Dengan cara apa Tuhan memusnahkan kota itu? Dengan api. Mengapa Dia memusnahkannya dengan menggunakan api? Ketika engkau melihat sesuatu sedang terbakar oleh api, atau ketika engkau akan membakar sesuatu, apa yang kaurasakan terhadapnya? Mengapa engkau ingin membakarnya? Apakah engkau merasa bahwa engkau tidak membutuhkannya lagi, bahwa engkau tidak ingin melihatnya lagi? Apakah engkau ingin membuangnya? Tuhan menggunakan api yang berarti pengabaian dan kebencian, dan bahwa Dia tidak ingin lagi melihat Sodom. Ini adalah emosi yang membuat Tuhan membumihanguskan Sodom dengan api. Penggunaan api menggambarkan betapa marahnya Tuhan. Belas kasihan dan toleransi Tuhan memang ada, tetapi kekudusan dan keadilan Tuhan ketika Dia melepaskan murka-Nya juga memperlihatkan kepada manusia sisi dari Tuhan yang tidak menoleransi pelanggaran. Ketika manusia sepenuhnya mampu menaati perintah Tuhan dan bertindak sesuai dengan tuntutan Tuhan, Tuhan pun berlimpah dalam belas kasihan-Nya terhadap manusia; ketika manusia telah dipenuhi kerusakan, kebencian dan permusuhan terhadap-Nya, Tuhan sangat marah. Sampai sejauh manakah kemarahan-Nya yang sedemikian mendalam itu? Murka-Nya akan terus berlanjut sampai Tuhan tidak lagi melihat penentangan dan perbuatan jahat manusia, sampai semua itu tidak lagi ada di depan mata-Nya. Baru setelah itulah kemarahan Tuhan akan lenyap. Dengan kata lain, siapa pun orangnya, jika hatinya telah menjauh dari Tuhan dan berpaling dari Tuhan, tidak pernah kembali lagi, maka, terlepas dari bagaimana, semua penampilan luar, atau dalam hal keinginan subjektifnya, dia ingin menyembah, mengikuti, dan tunduk kepada Tuhan dalam tubuh atau pemikirannya, begitu hatinya berpaling dari Tuhan, murka Tuhan pun akan dilepaskan tanpa henti. Ini akan menjadi sedemikian rupa sehingga ketika Tuhan melepaskan amarah-Nya secara mendalam, setelah memberi begitu banyak kesempatan kepada manusia, begitu kemarahan itu dilepaskan, tidak mungkin bisa ditarik kembali, dan Dia tidak akan pernah lagi berbelas kasihan dan bersikap toleran terhadap umat manusia semacam itu. Inilah satu sisi dari watak Tuhan yang tidak menoleransi pelanggaran. Di sini, tampaknya normal bagi manusia bahwa Tuhan akan memusnahkan sebuah kota, karena di mata Tuhan, kota yang penuh dosa tidak bisa tetap ada dan terus ada, dan masuk akal bahwa kota itu harus dimusnahkan oleh Tuhan. Namun, di dalam apa yang terjadi sebelum dan sesudah pemusnahan Sodom oleh-Nya, kita melihat keseluruhan watak Tuhan. Dia toleran dan penuh belas kasihan terhadap hal-hal yang baik, indah dan bagus; terhadap hal-hal yang buruk, berdosa dan jahat, Dia sangat murka, sedemikian murkanya sampai Dia tidak berhenti dalam kemurkaan-Nya. Inilah dua aspek utama dan yang paling menonjol dari watak Tuhan, dan terlebih dari itu, keduanya telah diungkapkan oleh Tuhan dari awal hingga akhir yaitu: belas kasihan yang berkelimpahan dan murka yang mendalam. Kebanyakan dari antaramu pernah mengalami sesuatu dari belas kasihan Tuhan, tetapi sangat sedikit di antaramu yang telah menghargai murka Tuhan. Belas kasihan dan kasih setia Tuhan dapat terlihat dalam diri setiap orang; artinya Tuhan telah melimpah dalam belas kasihan-Nya terhadap setiap orang. Namun sangat jarang—atau, bisa dikatakan, tidak pernah—Tuhan marah secara mendalam terhadap siapa pun atau bagian mana pun dari orang-orang di antaramu. Tenang saja! Cepat atau lambat, murka Tuhan akan terlihat dan dialami oleh setiap orang, tetapi sekarang belum waktunya. Mengapa belum waktunya? Itu karena ketika Tuhan terus-menerus marah kepada seseorang, yaitu, ketika Dia melepaskan murka-Nya yang mendalam atas mereka, ini berarti Dia telah sejak lama membenci dan menolak orang ini, bahwa Dia membenci keberadaan mereka, dan tidak tahan dengan keberadaan mereka; begitu kemarahan-Nya dilepaskan atas mereka, mereka akan lenyap. Sekarang ini, pekerjaan Tuhan belum mencapai titik itu. Tak seorang pun di antaramu akan dapat menanggungnya begitu Tuhan menjadi sangat marah. Jadi, jelas bahwa pada saat ini Tuhan hanya berlimpah dalam belas kasihan-Nya terhadap engkau semua, dan engkau semua belum melihat kemarahan-Nya yang mendalam. Apabila ada orang-orang yang tetap tidak yakin, engkau semua dapat meminta agar murka Tuhan datang atasmu, sehingga engkau semua dapat mengalami apakah kemarahan Tuhan dan watak-Nya yang tidak menoleransi pelanggaran manusia itu benar-benar ada atau tidak. Apakah engkau semua berani?

Manusia Akhir Zaman Hanya Melihat Murka Tuhan di dalam Firman-Nya, dan Tidak Benar-Benar Mengalami Murka Tuhan

Apakah kedua sisi watak Tuhan yang terlihat dalam ayat-ayat Alkitab ini layak untuk dipersekutukan? Setelah mendengarkan kisah ini, apakah engkau semua memiliki pemahaman yang diperbarui tentang Tuhan? Pemahaman macam apakah yang kaumiliki? Dapat dikatakan bahwa dari masa penciptaan sampai sekarang, tidak ada kelompok yang telah menikmati kasih karunia atau belas kasihan dan kasih setia Tuhan sebanyak kelompok yang terakhir ini. Meskipun, pada tahap terakhir, Tuhan telah melakukan pekerjaan penghakiman dan hajaran, dan telah melakukan pekerjaan-Nya dengan kemegahan dan murka, kebanyakan Tuhan hanya menggunakan firman untuk menyelesaikan pekerjaan-Nya; Dia menggunakan firman untuk mengajar dan menyirami, untuk membekali dan memberi makan. Sementara itu, murka Tuhan tetap tersembunyi, dan selain dari mengalami watak murka Tuhan dalam firman-Nya, sangat sedikit orang yang telah mengalami kemarahan-Nya secara langsung. Dengan kata lain, selama pekerjaan penghakiman dan hajaran Tuhan, meskipun murka yang diungkapkan dalam firman Tuhan memungkinkan orang untuk mengalami kemegahan dan ketidaktoleransian-Nya terhadap pelanggaran, murka ini tidak melampaui firman-Nya. Dengan kata lain, Tuhan menggunakan firman untuk menegur, mengungkapkan, menghakimi, menghajar dan bahkan menghukum manusia—tetapi Tuhan belum marah secara mendalam terhadap manusia, dan bahkan hampir belum pernah melepaskan murka-Nya kepada manusia kecuali dengan firman-Nya. Jadi, belas kasihan dan kasih setia Tuhan yang dialami manusia pada zaman ini adalah penyingkapan watak Tuhan yang sejati, sementara murka Tuhan yang dialami manusia hanyalah dampak dari nada dan nuansa perkataan-Nya. Banyak orang secara keliru menganggap dampak ini sebagai pengalaman dan pengetahuan yang sejati tentang murka Tuhan. Akibatnya, kebanyakan orang yakin bahwa mereka telah melihat belas kasihan dan kasih setia Tuhan di dalam firman-Nya, bahwa mereka juga telah melihat ketidaktoleransian Tuhan terhadap pelanggaran manusia, dan kebanyakan dari mereka bahkan mulai menghargai belas kasihan dan toleransi Tuhan terhadap manusia. Namun, betapapun buruk perilaku manusia, atau betapapun rusak wataknya, Tuhan selalu menahan diri. Dalam menahan diri, tujuan-Nya adalah menunggu agar firman yang telah diucapkan-Nya, upaya yang telah dilakukan-Nya, dan harga yang telah dibayarkan-Nya mencapai dampak dalam diri orang-orang yang ingin Dia dapatkan. Menunggu hasil semacam ini membutuhkan waktu, dan membutuhkan pengadaan lingkungan yang berbeda bagi manusia, sama seperti orang tidak dapat langsung menjadi dewasa begitu mereka dilahirkan; dibutuhkan delapan belas atau sembilan belas tahun, dan sebagian orang bahkan membutuhkan dua puluh atau tiga puluh tahun sebelum mereka bertumbuh menjadi orang dewasa. Tuhan menunggu selesainya proses ini, Dia menunggu datangnya saat seperti itu, dan Dia menunggu kedatangan hasil ini. Di sepanjang waktu Dia menunggu, Tuhan berlimpah dalam belas kasihan-Nya. Namun, selama periode pekerjaan Tuhan, sejumlah sangat kecil orang telah dibunuh, dan sebagian orang dihukum karena penentangan mereka yang sangat berat terhadap Tuhan. Contoh-contoh semacam itu adalah bukti yang jauh lebih besar lagi tentang watak Tuhan yang tidak menoleransi pelanggaran manusia, dan sepenuhnya menegaskan keberadaan yang nyata dari toleransi dan kesabaran Tuhan terhadap umat pilihan. Tentu saja, dalam contoh-contoh yang khas ini, penyingkapan sebagian dari watak Tuhan dalam diri orang-orang ini tidak memengaruhi keseluruhan rencana pengelolaan Tuhan. Bahkan, di tahap terakhir pekerjaan Tuhan ini, Tuhan telah menahan diri-Nya selama masa Dia menunggu, dan Dia telah menukar kesabaran-Nya dan hidup-Nya demi keselamatan mereka yang mengikut Dia. Apakah engkau semua memahami hal ini? Tuhan tidak mengacaukan rencana-Nya tanpa alasan. Dia bisa melepaskan murka-Nya, dan Dia juga bisa berbelas kasihan; inilah penyingkapan dua bagian utama dari watak Tuhan. Bukankah ini sangat jelas? Dengan kata lain, ketika menyangkut Tuhan, benar atau salah, adil atau tidak adil, positif atau negatif—semua ini dengan jelas diperlihatkan kepada manusia. Apa yang akan Dia lakukan, apa yang Dia suka, apa yang Dia benci—semua ini dapat secara langsung tecermin dalam watak-Nya. Hal-hal seperti itu juga dapat terlihat sangat terang dan jelas di dalam pekerjaan Tuhan, dan semua itu tidak samar-samar ataupun umum; sebaliknya, semua itu memungkinkan semua orang untuk melihat watak Tuhan, apa yang dimiliki-Nya dan siapa Dia dengan cara yang sangat konkret, benar dan nyata. Inilah Tuhan yang benar itu sendiri.

Watak Tuhan Tidak Pernah Tersembunyi dari Manusia—Hati Manusia Telah Menyimpang dari Tuhan

Jika Aku tidak bersekutu tentang hal-hal ini, tak seorang pun di antaramu akan dapat melihat watak Tuhan yang sebenarnya dalam kisah-kisah Alkitab. Ini adalah fakta. Itu karena, meskipun kisah-kisah Alkitab ini mencatat beberapa hal yang Tuhan lakukan, Tuhan hanya mengucapkan sedikit firman, dan tidak secara langsung memperkenalkan watak-Nya atau secara terbuka menyatakan maksud-Nya kepada manusia. Generasi-generasi selanjutnya telah menganggap catatan-catatan ini tidak lebih daripada kisah-kisah, sehingga bagi manusia Tuhan tampaknya menyembunyikan diri-Nya dari manusia, tetapi bukan pribadi Tuhan yang tersembunyi dari manusia, melainkan watak dan maksud-Nya. Setelah persekutuan-Ku sekarang, apakah engkau semua tetap merasa bahwa Tuhan sepenuhnya tersembunyi dari manusia? Apakah engkau semua tetap percaya bahwa watak Tuhan tersembunyi dari manusia?

Sejak waktu penciptaan, watak Tuhan telah sejalan dengan pekerjaan-Nya. Watak Tuhan tidak pernah tersembunyi dari manusia, melainkan sepenuhnya dibukakan dan dibuat menjadi jelas bagi manusia. Namun, dengan berlalunya waktu, hati manusia telah menjadi semakin jauh dari Tuhan, dan ketika kerusakan manusia telah menjadi semakin dalam, manusia dan Tuhan telah menjadi semakin jauh terpisah. Perlahan tapi pasti, manusia telah menghilang dari mata Tuhan. Manusia menjadi tidak mampu “melihat” Tuhan, yang telah meninggalkannya tanpa “kabar berita” tentang Tuhan; dengan demikian, manusia tidak tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak, bahkan sampai sama sekali menyangkal keberadaan Tuhan. Akibatnya, ketidaktahuan manusia akan watak Tuhan, dan akan apa yang dimiliki-Nya dan siapa Dia, bukanlah karena Tuhan tersembunyi dari manusia, melainkan karena hati manusia telah berpaling dari Tuhan. Meskipun manusia percaya kepada Tuhan, di hati manusia tidak ada Tuhan, dan dia tidak tahu bagaimana mengasihi Tuhan, dia juga tidak ingin mengasihi Tuhan, karena hatinya tidak pernah mendekat kepada Tuhan dan dia selalu menghindari Tuhan. Sebagai akibatnya, hati manusia jauh dari Tuhan. Jadi, di manakah hatinya berada? Sebenarnya, hati manusia tidak pergi ke mana-mana: alih-alih memberikan hatinya kepada Tuhan atau mengungkapkan hatinya kepada Tuhan untuk dilihat-Nya, dia menyimpannya bagi dirinya sendiri. Ini terlepas dari fakta bahwa sebagian orang sering berdoa kepada Tuhan dan berkata: “Oh Tuhan, lihatlah hatiku—Engkau tahu semua yang kupikirkan,” dan sebagian orang bahkan bersumpah untuk membiarkan Tuhan melihat diri mereka, agar mereka boleh dihukum jika melanggar sumpah mereka. Meskipun manusia mengizinkan Tuhan melihat ke lubuk hatinya, bukan berarti manusia mampu tunduk terhadap pengaturan dan rencana Tuhan, juga bukan berarti dia telah menyerahkan nasib, prospek hidup, dan segalanya di bawah kendali Tuhan. Jadi, terlepas dari sumpahmu kepada Tuhan atau apa yang kaunyatakan kepada-Nya, di mata Tuhan, hatimu masih tertutup bagi-Nya, karena engkau hanya mengizinkan Tuhan untuk melihat hatimu tetapi tidak mengizinkan Dia mengendalikannya. Dengan kata lain, engkau sama sekali belum memberikan hatimu kepada Tuhan, dan hanya mengucapkan kata-kata indah untuk didengar Tuhan, sementara itu, engkau menyembunyikan berbagai niatmu yang curang dari Tuhan, bersama dengan tipu daya, rencana kotor, dan rencanamu, serta engkau menggenggam erat prospek dan nasibmu di tanganmu, sangat takut semua itu diambil oleh Tuhan. Dengan demikian, Tuhan tidak pernah melihat ketulusan hati manusia terhadap-Nya. Meskipun Tuhan memang mengamati kedalaman hati manusia, dan dapat melihat apa yang sedang manusia pikirkan dan apa yang ingin Dia lakukan di hatinya, dan dapat melihat hal-hal apa yang tersimpan di dalam hatinya, hati manusia bukanlah milik Tuhan, dan manusia belum menyerahkan hatinya pada kendali Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan punya hak untuk mengamati tetapi tidak punya hak untuk mengendalikan. Dalam kesadaran subjektifnya, manusia tidak ingin atau berniat menyerahkan dirinya pada pengaturan Tuhan. Manusia tidak hanya telah menutup dirinya sendiri dari Tuhan, tetapi ada orang-orang yang bahkan memikirkan cara untuk membungkus rapat hati mereka, menggunakan kata-kata pujian dan sanjungan untuk menciptakan kesan palsu dan mendapatkan kepercayaan dari Tuhan, dan menyembunyikan wajah asli mereka dari pandangan Tuhan. Tujuan mereka untuk tidak membiarkan Tuhan melihat adalah untuk tidak mengizinkan Tuhan mengetahui seperti apa diri mereka yang sebenarnya. Mereka tidak ingin memberikan hati mereka kepada Tuhan, tetapi menyimpannya untuk diri mereka sendiri. Maksud tersirat dari hal ini adalah bahwa apa yang manusia lakukan dan inginkan semuanya direncanakan, diperhitungkan, dan diputuskan oleh manusia itu sendiri; dia tidak membutuhkan partisipasi atau campur tangan Tuhan, apalagi rancangan dan pengaturan Tuhan. Jadi, baik dalam hal perintah Tuhan, amanat-Nya, maupun tuntutan yang Tuhan buat atas manusia, keputusan manusia didasarkan pada niat dan kepentingannya sendiri, pada kondisi dan keadaannya sendiri pada saat itu. Manusia selalu menggunakan pengetahuan dan wawasan yang terasa akrab dengannya, serta kecerdasannya sendiri untuk menilai dan memilih jalan yang harus ditempuhnya, dan tidak membiarkan adanya campur tangan dan kendali Tuhan. Inilah hati manusia yang Tuhan lihat.

Dari awal sampai sekarang, hanya manusia yang mampu untuk bercakap-cakap dengan Tuhan. Artinya, di antara semua makhluk hidup dan makhluk ciptaan Tuhan, tak satu pun kecuali manusia yang mampu bercakap-cakap dengan Tuhan. Manusia memiliki telinga yang memampukannya untuk mendengar dan mata yang memampukannya untuk melihat; dia punya bahasa, ide sendiri, dan kehendak bebas. Dia memiliki semua yang dibutuhkan untuk mendengar Tuhan berbicara, dan memahami maksud Tuhan, serta menerima amanat Tuhan, dan karena itu, Tuhan pun menyampaikan semua keinginan-Nya kepada manusia, ingin menjadikan manusia rekan yang sepikiran dengan-Nya dan yang dapat berjalan bersama dengan-Nya. Sejak Dia mulai mengelola, Tuhan telah menunggu manusia untuk memberikan hatinya kepada-Nya, untuk mengizinkan Tuhan menyucikan dan memperlengkapinya, membuatnya memuaskan Tuhan dan dikasihi oleh Tuhan, untuk membuatnya takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Tuhan selalu menantikan dan menunggu hasil ini.

—Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, “Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II”

Tinggalkan komentar