Tiga aspek perwujudan rasa takut Ayub kepada Tuhan
- Catatan Editor
-
Ketika berbicara tentang Ayub, pertama-tama kita akan teringat dengan penilaian Tuhan Yahweh terhadapnya yang ada dalam Alkitab: "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub, tidak ada yang seperti dia di bumi, yang demikian tak bercela dan jujur, yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan" (Ayub 1:8). Dalam seluruh catatan Alkitab, hanya Ayub seorang yang bisa mendapatkan penilaian setinggi itu dari Tuhan. Ketika kita mengagumi Ayub, pada saat yang sama kita juga rindu untuk bisa sama seperti Ayub, bisa menjadi orang yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, serta mendapatkan perkenaan Tuhan. Jadi, perwujudan rasa takut akan Tuhan seperti apa, yang ada dalam diri Ayub yang dipuji Tuhan? Berikut ini mari kita mengikuti editor untuk bersama-sama menemukan jawabannya dari kisah Ayub.
1. Ayub menjauhi kejahatan dalam hidupnya dan tidak melakukan hal apa pun yang berdosa terhadap Tuhan
Dalam alkitab tercatat bahwa: "Demikianlah, setelah hari-hari pesta berakhir, Ayub memanggil mereka dan menguduskan mereka; ia bangun pagi-pagi benar dan mempersembahkan korban bakaran sesuai dengan jumlah anak-anaknya: karena Ayub berkata, 'Mungkin saja anak-anak lelakiku sudah berbuat dosa dan mengutuki Tuhan dalam hati mereka.' Demikianlah yang senantiasa dilakukan Ayub" (Ayub 1:5).
Kita semua tahu bahwa Ayub disebut sebagai orang yang terbesar di antara orang-orang Timur pada waktu itu, karena dia sangat kaya dan memiliki status yang tinggi. Banyak orang berpikir bahwa adalah hal yang normal bagi keluarga kaya untuk makan dan minum dan menikmati hidup, tetapi Ayub tidak berpikir demikian. Ayub takut akan Tuhan, dan dia tahu bahwa sering berpesta mewah dan menikmati kenyamanan daging, ini adalah hal yang dibenci Tuhan, dan ini juga mudah membuat orang menjauh dari Tuhan serta melakukan hal-hal yang melawan Tuhan, jadi dengan tegas dia menuntut dirinya untuk tidak melakukan hal-hal yang berdosa kepada Tuhan, dan ia juga tidak pernah ikut berpartisipasi dalam pesta anak-anaknya. Tidak hanya itu, setiap kali anak-anaknya selesai berpesta, ia juga sering berdoa dan mempersembahkan korban bakaran untuk anak-anaknya, karena ia takut mereka berbuat dosa dan menyinggung Tuhan. Dapat dilihat bahwa Ayub memiliki tempat untuk Tuhan di hatinya dan Ayub menghormati Tuhan dalam segala hal. Rasa hormatnya kepada Tuhan tidak hanya perkataan kosong di mulutnya, tetapi diterapkan dalam setiap detail di kehidupan sehari-harinya. Tidak peduli dalam hal yang besar atau kecil, dia sanggup melakukan hingga mencapai rasa takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, terus mengikuti jalan Tuhan, dan tidak pernah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh Firman Tuhan: "Kalimat terakhir dari teks ini 'Demikianlah yang senantiasa dilakukan Ayub'. Makna dari kata-kata ini adalah bahwa Ayub tidak pergi dan menengok anak-anaknya sesekali, atau ketika hal itu menyenangkannya, dia juga tidak mengaku kepada Tuhan melalui doa. Sebaliknya, dia secara teratur memanggil dan menguduskan anak-laki-lakinya, dan mempersembahkan korban bakaran bagi mereka. Kata 'senantiasa' di sini bukan berarti dia melakukannya selama satu atau dua hari, atau untuk sesaat. Dikatakan bahwa perwujudan sikap Ayub yang takut akan Tuhan tidak bersifat sementara, dan tidak berhenti pada pengetahuan atau kata-kata yang diucapkan; sebaliknya, jalan takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan itu menuntun hatinya, mengatur perilakunya, dan ada di dalam hatinya, sumber keberadaannya. Bahwa dia melakukannya senantiasa menunjukkan bahwa, di dalam hatinya, dia sering takut bahwa dirinya sendiri akan berbuat dosa terhadap Tuhan dan juga takut bahwa putra dan putrinya akan berbuat dosa terhadap Tuhan. Itu menunjukkan betapa beratnya jalan takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan yang ada di dalam hatinya. Dia melakukannya senantiasa karena, di dalam hatinya, dia takut dan khawatir—khawatir bahwa dia telah melakukan kejahatan dan berbuat dosa terhadap Tuhan, dan bahwa dia telah menyimpang dari jalan Tuhan sehingga tidak dapat memuaskan Tuhan. Pada saat yang sama, dia juga mengkhawatirkan putra dan putrinya, takut bahwa mereka telah menyinggung Tuhan. Demikianlah perilaku normal Ayub dalam kehidupannya sehari-hari. Justru perilaku normal inilah yang membuktikan bahwa sikap Ayub yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan bukanlah kata-kata kosong, bahwa Ayub benar-benar menghidupi kenyataan seperti itu."
Dari sini dapat dilihat bahwa meskipun Ayub kaya raya, memiliki kekayaan yang berlimpah dan status yang tinggi, namun ia tidak menikmati hidup melalui hal-hal ini, melainkan berusaha untuk hidup dan menerapkan kehendak Tuhan dalam segala hal di kehidupan sehari-harinya, agar jangan sampai dia menyinggung Tuhan, karena itu, dia mendapat perkenaan Tuhan. Ini adalah aspek pertama dari perwujudan rasa takut Ayub kepada Tuhan
2. Dalam pencobaannya, Ayub dapat menaati Tuhan secara mutlak dan tidak berbuat dosa dengan mulutnya
Alkitab berkata: "Lalu Ayub bangun, mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian tersungkur dan menyembah, katanya: 'Dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku, dengan telanjang aku juga akan kembali ke situ: Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh'" (Ayub 1:20-21).
Ketika godaan dari Setan datang kepada Ayub, ternak dan domba-dombanya yang ada di pegunungan, kekayaannya yang berlimpah, serta anak-anak dan hamba-hambanya semuanya dimusnahkan dalam seketika. Ketika Ayub mendengar berita itu, dia tidak pergi mencari perampok itu untuk merebut kembali hartanya, dan juga tidak mengeluh kepada Tuhan, tetapi mengoyak jubahnya, mencukur kepalanya, kemudian tersungkur dan menyembah, serta berkata : "Dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku, dengan telanjang aku juga akan kembali ke situ: Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh" (Ayub 1:20-21). Firman Tuhan berkata: "Inilah reaksi pertama Ayub setelah mendengar bahwa dia telah kehilangan anak-anaknya dan semua harta bendanya. Terutama sekali, dia tidak tampak terkejut, atau panik, apalagi menyatakan kemarahan atau kebencian. Jadi, jelas bahwa di dalam hatinya dia telah menyadari bahwa semua bencana ini bukanlah suatu kebetulan, atau dilakukan oleh tangan manusia, apalagi menganggap bahwa bencana ini adalah akibat datangnya pembalasan atau hukuman. Sebaliknya, ujian dari Yahweh telah datang atas dirinya; Yahwehlah yang ingin mengambil harta benda dan anak-anaknya. Ayub sangat tenang dan berakal sehat pada saat itu. Kemanusiaannya yang tak bercela dan jujur membuat dia dapat secara rasional dan alami membuat penilaian dan keputusan yang tepat tentang bencana yang menimpa dirinya, dan karena itu, dia berperilaku dengan ketenangan yang luar biasa: 'Lalu Ayub bangun, mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian tersungkur dan menyembah.' 'Mengoyak jubahnya' berarti bahwa dia tidak berpakaian, dan tidak punya apa-apa; 'mencukur kepalanya' berarti dia telah kembali ke hadapan Tuhan sebagai bayi yang baru lahir; 'tersungkur dan menyembah' berarti dia telah datang ke dunia dengan telanjang, dan sekarang tetap tanpa apa pun, dia dikembalikan kepada Tuhan seperti bayi yang baru lahir. Sikap Ayub terhadap semua yang menimpa dirinya tidak dapat dicapai oleh makhluk Tuhan mana pun. Imannya kepada Yahweh melampaui lingkup kepercayaan; Ini adalah sikap takut akan Tuhan, dan ketaatan-Nya kepada Tuhan; dia tidak hanya mampu bersyukur kepada Tuhan karena memberi kepadanya, tetapi juga karena mengambil darinya. Terlebih dari itu, dia mampu mengambil inisiatif untuk mengembalikan semua miliknya kepada Tuhan, termasuk hidupnya."
Dari sini dapat dilihat bahwa meskipun Ayub merasa lemah dan menderita ketika menghadapi pencobaan yang besar dikarenakan bencana alam atau bencana buatan manusia, namun dia tidak berbuat dosa dengan mulutnya atau mengeluh kepada Tuhan, tetapi percaya bahwa Tuhan berdaulat atas segala sesuatu, dan dia percaya bahwa anak-anak dan segala kekayaan materi yang dimilikinya, itu semua diberikan oleh Tuhan, dan bukanlah karena jerih payahnya sendiri. Tidak peduli apakah Tuhan yang memberi atau mengambil kembali, ia sebagai makhluk ciptaan-Nya haruslah menerima tanpa syarat dan mematuhinya tanpa alasan, bahkan harus memuji nama Tuhan. Pada akhirnya, Ayub berdiri dan memberikan kesaksiannya sehingga Setan dengan sepenuhnya gagal dan dipermalukan, dan ia menjadi manusia sempurna yang berkenan kepada Tuhan. Dapat dilihat bahwa Ayub tidak berbuat dosa dengan mulutnya ketika dalam pencobaan, dan mampu menaati Tuhan secara mutlak, dengan bersujud dan memuji nama Tuhan Yahweh yang kudus. Ini adalah aspek kedua dari perwujudan rasa takut Ayub kepada Tuhan
3. Ayub tidak memperlakukan sesama berdasarkan emosinya, dia bisa membedakan dengan jelas antara cinta dan kebencian
Alkitab berkata: "Lalu kata istrinya kepadanya, 'Apakah engkau masih mempertahankan kesalehanmu? Kutukilah Tuhan dan matilah!' Tetapi Ayub menjawab istrinya, 'Engkau berbicara seperti perempuan bodoh. Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?'" (Ayub 2: 9-10).
Kita semua tahu bahwa, Alkitab mencatat bahwa Setan mencobai Ayub tiga kali, yang menyebabkan dalam waktu semalam, hartanya diambil oleh perampok , anak-anaknya mati tertimpa, dan seluruh tubuhnya dipenuhi oleh luka borok. Ayub menderita rasa sakit yang luar biasa dalam jiwa dan tubuhnya , sehingga ia duduk di abu dan menggaruk tubuhnya. Pada saat ini, istri Ayub bertindak sebagai antek Setan dan berkata kepada Ayub: "Apakah engkau masih mempertahankan kesalehanmu? Kutukilah Tuhan dan matilah!" (Ayub 2:9). Dari perkataan istrinya, Ayub mendengar bahwa istrinya sedang menyangkal Tuhan dan mengeluh tentang ketidakadilan Tuhan, karena itu dia merasa jijik dan benci kepada istrinya, dan akhirnya mengeluarkan perkataan , "Engkau berbicara seperti perempuan bodoh. Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?" Dia menegur istrinya dengan keras dengan perkataannya ini.
Mengapa Ayub menegur istrinya dengan begitu keras? Firman Tuhan berkata: "Melihat siksaan yang dideritanya, istri Ayub mencoba memberi saran kepada Ayub untuk membantunya melepaskan diri dari kesengsaraannya, tetapi 'niat baik'-nya tidak mendapatkan persetujuan Ayub; sebaliknya, itu membangkitkan amarahnya, karena istrinya mengingkari iman dan ketaatan Ayub kepada Tuhan Yahweh, dan juga menyangkal keberadaan Tuhan Yahweh. Hal ini tidak dapat ditoleransi oleh Ayub karena dia tidak pernah membiarkan dirinya sendiri melakukan apa pun yang menentang atau menyakiti Tuhan, apalagi orang lain. Bagaimana dia bisa tetap tidak peduli ketika dia melihat orang lain mengucapkan perkataan yang menghujat dan menghina Tuhan? Karena itu, dia menyebut istrinya 'wanita bodoh'. Sikap Ayub terhadap istrinya adalah kemarahan dan kebencian, serta teguran dan celaan. Ini adalah ungkapan alami kemanusiaan Ayub—membedakan antara cinta dan benci—dan merupakan representasi sejati dari kemanusiaannya yang jujur. Ayub memiliki rasa keadilan—yang membuatnya membenci angin dan gelombang kejahatan, dan membenci, mengutuk, serta menolak pembangkangan yang tidak masuk akal, perdebatan konyol, dan pernyataan yang menggelikan, dan membuat dia berpegang teguh pada prinsip dan pendiriannya sendiri yang benar ketika dia ditolak oleh orang banyak dan ditinggalkan oleh orang-orang yang dekat dengannya."
Dari sini dapat dilihat bahwa Ayub takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan,dan bisa membedakan dengan jelas antara cinta dan benci, dan menempatkan Tuhan sebagai yang tertinggi di hatinya. Ayub tidak membiarkan dirinya menentang Tuhan, dan juga tidak membiarkan orang lain mengeluh, menyangkal dan menghujat Tuhan, meskipun mereka adalah orang terdekatnya secara lahiriah. Ketika mereka berkata perkataan yang menyangkal dan menghujat Tuhan, Ayub sama sekali tidak terpengaruh oleh emosi, sehingga ia merasa jijik dan membenci mereka di dalam hatinya, dan bahkan menegur mereka dengan keras. Dari dialog antara Ayub dan istrinya, kita dapat melihat sifat manusia Ayub yang jujur, lurus, dimana dia bisa membedakan dengan jelas antara cinta dan kebencian, dan memiliki rasa keadilan. Dalam menghadapi berbagai orang dan berbagai hal, dia bisa berdiri di sisi Tuhan dan di sisi kebenaran, dan hidup tanpa mengandalkan emosi dagingnya. Hingga akhirnya bisa menjadi saksi bagi Tuhan dan mendapatkan perkenanan Tuhan. Ini adalah aspek ketiga dari perwujudan rasa takut Ayub kepada Tuhan.
Di atas adalah tiga aspek perwujudan rasa takut Ayub kepada Tuhan. Jika kita ingin mendapatkan perkenaan dari Tuhan, kita juga harus meneladani Ayub. Kita harus berfokus untuk menjauhi segala macam godaan dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita menghadapi kesulitan dan cobaan, kita tidak boleh berdosa dengan mulut kita, tidak salah paham dan menyalahkan Tuhan, serta bisa taat pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan ; ketika kita menghadapi berbagai hal, kita bisa berpegang pada kebenaran dan keadilan, tanpa dikendalikan oleh siapa pun, dan berdiri teguh di sisi Tuhan. Jika kita selalu menerapkan dan masuk dengan cara ini, maka secara bertahap kita bisa menjadi orang yang takut akan Tuhan dan menerima pujian dan berkat dari Tuhan.
- Catatan Editor
-
Melalui persekutuan di atas, saya yakin kita telah memahami tiga aspek perwujudan sikap Ayub yang takut akan Tuhan. Jika Anda masih memiliki pertanyaan atau kebingungan lain, silakan menghubungi kami melalui obrolan online, dan kami akan menjawab pertanyaan Anda secara online 24 jam sehari.