Firman Tuhan yang Relevan:
Tuhan adalah satu-satunya Penguasa umat manusia, Tuhan adalah satu-satunya Tuan atas nasib manusia, sehingga mustahil bagi manusia untuk mengatur nasibnya sendiri, mustahil baginya untuk melangkah keluar dari hal itu. Sehebat apa pun kemampuan seseorang, ia tidak bisa memengaruhi—apalagi menata, mengatur, mengendalikan, atau mengubah—nasib orang lain. Hanya Tuhan itu sendiri, Tuhan yang unik, yang menetapkan segala sesuatu bagi manusia, karena hanya Dia memiliki otoritas unik yang berdaulat atas nasib manusia, sehingga hanya Sang Pencipta yang adalah Tuan yang unik atas manusia.Otoritas Tuhan tidak hanya berdaulat atas manusia ciptaan, tetapi juga atas makhluk bukan ciptaan yang tidak dapat dilihat manusia, atas bintang-bintang, atas alam semesta. Inilah fakta yang tak terbantahkan, fakta yang benar-benar ada, yang tidak bisa diubah oleh siapa pun atau apa pun.
Selain melahirkan dan membesarkan anak, tanggung jawab orang tua dalam hidup anak-anak mereka hanyalah menyediakan bagi mereka lingkungan formal untuk bertumbuh, karena tidak ada hal lain selain penentuan Sang Pencipta yang memiliki pengaruh atas nasib seseorang. Tidak seorang pun dapat mengendalikan masa depan seperti apa yang akan orang miliki; itu telah ditentukan jauh sebelumnya, dan bahkan orang tua tidak bisa mengubah nasib seseorang. Dalam perkara nasib, setiap orang berdiri sendiri, setiap orang memiliki nasib mereka sendiri. Jadi, tidak ada orang tua yang bisa mencegah nasib seseorang dalam hidupnya atau memberi pengaruh sekecil apa pun terhadap peran yang akan orang mainkan dalam hidupnya. Dapat dikatakan bahwa keluarga tempat orang ditetapkan untuk dilahirkan dan lingkungan tempat ia bertumbuh, semuanya tak lebih dari prasyarat bagi pemenuhan misi orang itu dalam hidupnya. Semua itu sama sekali tidak menentukan nasib seseorang dalam hidupnya ataupun nasib macam apa yang orang alami saat memenuhi misi mereka. Dengan demikian, tidak ada orang tua yang dapat membantu seseorang dalam menyelesaikan misi dalam hidupnya, demikian pula, tidak ada kerabat yang dapat membantu orang untuk mengambil peran dalam hidupnya. Bagaimana orang menyelesaikan misinya dan dalam lingkungan hidup seperti apa ia menjalankan perannya, itu ditentukan oleh nasib hidupnya. Dengan kata lain, tidak ada kondisi objektif lain yang dapat memengaruhi misi seseorang yang telah ditetapkan sejak semula oleh Sang Pencipta. Semua orang menjadi dewasa dalam lingkungan tertentu, di mana mereka bertumbuh; kemudian secara bertahap, langkah demi langkah, mereka menapaki jalan hidup mereka masing-masing dan memenuhi nasib yang telah direncanakan oleh Sang Pencipta bagi mereka. Secara alami, tanpa disadari, mereka memasuki lautan luas manusia dan mengambil posisi mereka sendiri dalam kehidupan, di mana mereka mulai memenuhi tanggung jawab mereka sebagai makhluk ciptaan demi ketetapan Sang Pencipta dari sejak semula, demi kedaulatan-Nya.
Setiap orang yang lahir ke dunia memiliki sebuah misi; seseorang tidak lahir ke dunia tanpa alasan yang jelas, bukan pula merupakan sebuah kesalahan pengaturan Kedatangan tiap orang di dunia manusia, tidak peduli apa yang Mereka pelajari atau kerjakan, adalah supaya Mereka bisa memainkan sebuah peran di dunia ini. Peran apakah itu? Peran Mereka adalah menyelesaikan sebuah tugas dan melakukan beberapa tindakan di dunia ini. Misalnya, dua orang menikah dan mempunyai seorang anak, dan ketiga orang ini membentuk sebuah keluarga yang lengkap. Untuk apa sang ibu hidup di dalam keluarga ini? Ia hidup untuk menyelesaikan misinya dan perannya sebagai seorang ibu, yakni merawat anak dan suaminya, dan mengurus rumah; ini semua adalah tujuan hidupnya. Untuk apa sang anak hidup di dalam keluarga ini? Peran apa yang dimainkan oleh si anak? Mereka adalah keturunan keluarga tersebut yang akan meneruskan namanya; Kehadiran sang anak akan membentuk dan melengkapi keluarga. Untuk melengkapi keluarga—inilah peran pertama sang anak. Anak laki-laki atau perempuan, Mereka memiliki misi di dalam keluarga. Apakah pengaturan langkah demi langkah atas nasib anak tersebut—akan seperti apa nasib Mereka, apa yang akan Mereka pelajari di masyarakat, di mana Mereka akan bekerja, pekerjaan yang akan Mereka lakukan, kewajiban yang akan Mereka lakukan ketika Mereka memasuki rumah Tuhan, keterampilan-keterampilan khusus Mereka, dan apa yang akan Mereka lakukan—tidak semuanya direncanakan oleh Tuhan? Apakah sang anak sendiri mempunyai pilihan? Sejak saat Mereka lahir ke dalam keluarga Mereka, nyatanya, Mereka tidak mempunyai pilihan dalam tiap tahapan nasib Mereka; ini sepenuhnya diatur oleh Tuhan. Ada kebenaran dalam pernyataan tersebut. "Ini sepenuhnya diatur oleh Tuhan," dan ini berhubungan dengan tujuan hidup orang-orang. ... Nyatanya, setiap orang adalah sama. Mereka hidup untuk kedaulatan Tuhan dan pengaturan-Nya. Setiap orang adalah seperti sebuah bidak catur. Di mana Tuhan menaruhmu, kemana kamu pergi, apa yang kamu lakukan, dan berapa lama kamu tinggal di sebuah tempat semuanya dikendalikan oleh Tuhan. Jadi, dalam hal kendali Tuhan, untuk siapa umat manusia hidup? Sebenarnya, Mereka hidup untuk kedaulatan dan pengaturan Tuhan, dan Mereka hidup untuk pengelolaan-Nya; Mereka bukanlah tuan atas diri Mereka.
Kelahiran, pertumbuhan, dan pernikahan semuanya mendatangkan kekecewaan dalam beragam jenis dan dalam derajat berbeda. Sebagian orang merasa tidak puas dengan keluarga mereka atau dengan penampilan fisik mereka sendiri; sebagian orang tidak menyukai orang tua mereka; sebagian orang membenci atau mengeluh tentang lingkungan tempat mereka bertumbuh. Dan bagi kebanyakan orang, di antara semua kekecewaan ini, pernikahan adalah yang paling tidak memuaskan. Seberapa pun tidak puasnya orang dengan kelahiran, pertumbuhan, atau pernikahannya, semua orang yang sudah melalui hal-hal ini tahu bahwa orang tidak dapat memilih di mana dan kapan mereka dilahirkan, bagaimana penampilan fisik mereka, siapa yang menjadi orang tua mereka, siapa yang menjadi pasangan mereka, dan harus begitu saja menerima kehendak Surga. Namun, ketika tiba saatnya bagi orang-orang untuk membesarkan generasi selanjutnya, mereka akan memproyeksikan semua keinginan yang gagal mereka wujudkan pada paruh pertama hidup mereka kepada keturunan mereka, berharap bahwa keturunan mereka akan menebus semua kekecewaan di paruh pertama hidup mereka sendiri. Jadi, orang memuaskan diri dalam segala macam fantasi tentang anak-anak mereka: bahwa putri-putri mereka akan bertumbuh menjadi wanita jelita, putra-putra mereka menjadi pria-pria gagah, bahwa putri-putri mereka akan menjadi terpelajar dan berbakat dan putra-putra mereka akan menjadi pelajar brilian dan atlet berbintang; bahwa putri-putri mereka akan lemah lembut, saleh, dan bijaksana dan putra-putra mereka pandai, bisa diandalkan, dan sensitif. Mereka berharap keturunan mereka, entah anak laki-laki atau anak perempuan, akan menghormati orang yang lebih tua, memperhatikan orang tua mereka, dikasihi dan dipuji oleh semua orang .... Pada titik ini, harapan akan kehidupan kembali muncul, dan semangat baru menyala di dalam hati mereka. Orang tahu bahwa mereka tidak berdaya dan tak punya harapan dalam hidup ini, bahwa mereka tidak akan punya kesempatan lain atau harapan lain untuk lebih menonjol dibandingkan kebanyakan orang, dan bahwa mereka tak punya pilihan selain menerima nasib mereka. Dan karenanya, mereka memproyeksikan semua harapan, semua hasrat dan cita-cita mereka yang tak terwujud, ke generasi selanjutnya, dengan harapan bahwa keturunan mereka dapat membantu mereka mencapai impian dan mewujudkan keinginan mereka; bahwa putra-putri mereka akan membawa kemuliaan bagi nama keluarga, menjadi orang penting, kaya, atau terkenal. Singkatnya, mereka ingin melihat kekayaan anak-anak mereka melejit. Rencana dan fantasi orang itu sempurna; tidakkah mereka tahu bahwa jumlah anak yang mereka miliki, penampilan anak-anak mereka, kemampuan anak-anak mereka, dan hal-hal lainnya tidak bisa mereka tentukan, bahwa nasib anak-anak mereka tidak berada di tangan mereka sama sekali? Manusia bukan tuan atas nasib mereka sendiri, tetapi mereka berharap bisa mengubah nasib generasi yang lebih muda; mereka tidak berdaya melepaskan diri dari nasib mereka sendiri, tetapi mencoba mengendalikan nasib putra-putri mereka. Bukankah mereka terlalu memandang tinggi diri mereka sendiri? Bukankah ini kebodohan dan kebebalan manusia?
Berkenaan dengan perlakuan terhadap anak-anak: semua orang tua berharap anak mereka akan menerima pendidikan tinggi, dan suatu hari akan mereka akan menjadi ternama dan memiliki peran di dalam masyarakat, dengan penghasilan dan pengaruh yang mapan. Hal ini saja akan menghormati leluhur mereka. Konsep ini umum bagi semua orang. Seperti pepatah yang mengatakan, "Semoga anak laki-lakiku menjadi naga, dan anak perempuanku menjadi burung feniks." Apakah konsep ini benar? Semua orang ingin anak mereka masuk ke universitas bergengsi, lalu mengambil. Mereka percaya bahwa setelah mendapatkan gelar, anak-anak mereka akan menjadi orang yang ternama, karena semua orang, di dalam hati mereka, memuja pengetahuan. Mereka percaya, "Pengejaran akan hal-hal yang lain kurang bernilai, mempelajari buku-buku mengungguli semua pengejaran." Terlebih lagi, masyarakat masa kini sangatlah kompetitif. Tanpa gelar, orang tidak mungkin makan—beginilah cara berpikir semua orang, dan pandangan yang mereka pegang—seolah-olah hanya dengan gelar saja dapat menentukan masa depan dan mata pencaharian orang. Inilah mengapa semua orang menjadikan pendidikan tinggi dan diterima di lembaga pendidikan tinggi sebagai prioritas utama dalam tuntutan mereka kepada anak-anak mereka. Pada kenyataannya, pendidikan yang orang kejar itu, pengetahuan yang mereka peroleh, dan pemikiran-pemikiran mereka itu semuanya bertentangan dengan Tuhan dan kebenaran; mereka dibenci dan dikutuk oleh-Nya. Apa sudut pandang manusia? Sudut pandang manusia yaitu, tanpa pengetahuan dan pendidikan, seseorang tidak memiliki kaki untuk berdiri dalam masyarakat dan dunia ini, dan dia adalah orang yang hina dan miskin. Di matamu, siapa pun yang kurang pengetahuan, siapa pun yang tidak berbudaya, atau yang berpendidikan rendah, adalah seseorang yang engkau pandang rendah dan engkau cemooh, serta engkau perlakukan sebagai orang yang tidak berarti. Bukankah demikian? Sudut pandang dan dasar pemikiranmu sendirinya adalah salah. Engkau semua membesarkan anak-anakmu untuk bersekolah dan mendapat pendidikan yang tinggi untuk memungkinkan mereka memiliki masa depan yang baik, tetapi pernahkah engkau pertimbangkan berapa banyak racun Iblis yang akan ditanamkan ke dalam diri anak-anakmu oleh pendidikan ini setelah mereka selesai menerimanya? Berapa banyak dari pemikiran dan teori Iblis yang akan ditanamkan ke dalam diri anak-anakmu? Orang-orang tidak memikirkan akan hal-hal ini; mereka hanya tahu bahwa jika anak-anak mereka masuk ke lembaga pendidikan tinggi, mereka akan berhasil dan menghormati leluhur mereka. Akibatnya, harinya akan tiba ketika anak-anakmu pulang ke rumah, dan engkau berbicara kepada mereka tentang percaya kepada Tuhan, dan mereka menolak. Ketika engkau berbicara kepada mereka tentang kebenaran, mereka akan menyebutmu konyol, dan menertawakanmu, dan memandang rendah perkataanmu. Ketika hari itu tiba, engkau akan merasa engkau telah memilih jalan yang salah dengan mengirim anak-anakmu ke sekolah semacam itu untuk menerima pendidikan semacam itu, tetapi pada saat itu, sudah terlambat untuk menyesal. Begitu pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan itu telah masuk ke dalam diri seseorang, dan berakar serta terbentuk di dalam dirinya, hal-hal tersebut tidak dapat disingkirkan atau diubah dalam semalam. Engkau tidak dapat membalikkan keadaan semacam itu ataupun memperbaiki pemikiran-pemikiran seperti yang mereka miliki sekarang, dan engkau tidak dapat mencabut hal-hal dari pemikiran dan pandangan mereka. Tak ada seorang pun yang berkata, "Aku akan menyekolahkan anak-anakku hanya untuk belajar ABC dan cara membaca serta memahami firman Tuhan. Setelah itu, aku akan membuat mereka fokus pada percaya kepada Tuhan, dan mereka juga akan mempelajari beberapa profesi yang berguna. Lebih baik mereka menjadi orang yang memiliki kualitas dan kemanusiaan yang baik yang dapat melakukan tugas mereka di rumah Tuhan. Namun, jika mereka tidak dapat melakukan tugas mereka, mereka akan memiliki cara untuk menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga mereka di dunia, dan itu akan cukup. Yang penting adalah melihat bahwa mereka menerima apa yang berasal dari Tuhan di rumah-Nya, dan tidak membiarkan mereka dicemari dan dinodai oleh masyarakat." Jika berkenaan dengan anak-anak mereka sendiri, tak ada seorang pun yang bersedia membawa mereka ke hadapan Tuhan dengan tujuan semata-mata untuk menerima kebenaran firman-Nya, untuk berperilaku sesuai dengan kebenaran dan tuntutan Tuhan. Orang-orang tidak bersedia melakukan ini, dan mereka tidak berani karena takut anak-anak mereka tidak akan memiliki mata pencaharian atau masa depan di masyarakat. Menegaskan apakah pandangan ini? Ini menegaskan bahwa orang tidak tertarik pada kebenaran dan percaya kepada Tuhan. Mereka tidak memiliki iman kepada Tuhan, apalagi iman yang sejati kepada Tuhan, dan di dalam hati mereka, yang mereka hormati dan puja tetaplah dunia ini. Mereka merasa bahwa jika mereka meninggalkan dunia, mereka tidak akan memiliki cara untuk hidup, sedangkan, jika mereka meninggalkan Tuhan, mereka mungkin masih memiliki makanan, pakaian, dan tempat berlindung. Mereka merasa bahwa jika mereka meninggalkan pengetahuan dan pendidikan yang dari masyarakat, maka mereka tamat, mereka tidak akan diterima di masyarakat, dan bahwa dibuang serta disingkirkan oleh masyarakat berarti mereka tidak dapat bertahan hidup. Engkau kurang beriman untuk mengatakan bahwa jika engkau meninggalkan dunia dan bergantung pada Tuhan, engkau dapat hidup, bahwa Tuhan akan memberimu pertolongan yang akan memungkinkanmu untuk hidup. Engkau tidak memiliki pemahaman atau keberanian untuk mengatakan ini. Perkataan ini tidak dimaksudkan untuk menuntutmu agar benar-benar menerapkan secara demikian, tetapi untuk mengatakan bahwa, sebelum engkau menerapkan secara demikian dan berurusan dengan masalah-masalah ini, pemikiran dan pandangan semacam itu telah terbentuk di dalam dirimu dan mengendalikan setiap perkataan dan perbuatanmu. Pemikiran dan pandangan itu dapat menentukan bagaimana engkau akan bertindak di masa depan, dan bagaimana engkau akan menangani masalah-masalah ini.
Banyak orang yang benar-benar percaya kepada Tuhan dan secara penampilan mereka terlihat sangat rohani, tetapi dalam hal cara pandang dan sikap orang tua terhadap anak-anak dan anak-anak terhadap orang tua, mereka tidak tahu cara menerapkan aspek kebenaran ini dan prinsip-prinsip apa yang harus diterapkan dalam perkara ini dan cara menanganinya. Di mata orang tua, orang tua selalu orang tua dan anak-anak selalu anak-anak. Oleh karena itu hubungan antara anak-anak dan orang tua menjadi sangat sulit untuk ditangani. Banyak persoalan yang benar-benar diakibatkan oleh orang tua yang menolak beranjak dari status mereka sebagai orang tua. Mereka selalu memandang diri mereka sebagai orang tua, yang dituakan, dan mereka berpikir: Anak-anak harus selalu mendengarkan orang tua mereka dan fakta ini tidak akan pernah berubah—yang membuat anak-anak menentang mereka. Cara pandang seperti ini membuat kedua belah pihak kacau, lelah, hancur. Bukankah ini adalah manifestasi dari seseorang yang tidak memahami kebenaran? Ketika orang-orang tidak memahami kebenaran, mereka selalu dikendalikan oleh status dan bagaimana mereka tidak menderita sebagai hasilnya? Dalam kasus-kasus seperti itu, bagaimana melakukan kebenaran? (Dengan menyangkal dirimu sendiri.) Apa artinya menyangkal diri? Dengan sudut pandang dan sikap seperti apa seharusnya engkau memperlakukan perkara ini untuk benar-benar menyangkal diri? Bagaimana engkau melakukan penyangkalan diri ini? Sebenarnya cukup sederhana. Engkau harus menjadi orang biasa dan tidak dikendalikan status. Perlakukan anak-anakmu, perlakukan mereka yang ada dalam keluargamu sendiri sama seperti engkau akan memperlakukan saudara-saudarimu. Walau engkau memiliki tanggung jawab dan hubungan secara daging, tetapi, posisi dan cara pandang yang engkau harus miliki tetap sama seperti kepada teman atau saudara-saudari biasa. Engkau tidak boleh berdiri di posisi orang tua, menahan mereka atau mengikat mereka atau berusaha dan mengendalikan segala sesuatu tentang mereka. Engkau harus memperlakukan mereka sebagai orang yang sederajat. Engkau harus membiarkan mereka melakukan kesalahan, mengatakan hal yang salah, melakukan tindakan yang kekanak-kanakan, melakukan hal bodoh. Tidak peduli apa yang terjadi, duduklah dan berbicaralah baik-baik dengan mereka dan carilah kebenaran. Dengan cara ini, engkau akan berbicara kepada mereka dengan sikap yang benar dan masalah akan diselesaikan.