Iblis Sekali Lagi Mencobai Ayub (Bisul yang Busuk Bermunculan di Sekujur Tubuh Ayub) (Bagian 2)
Banyak Kesalahpahaman Manusia Tentang Ayub
Penderitaan yang dialami Ayub bukanlah pekerjaan para utusan yang diutus oleh Tuhan, juga bukan disebabkan oleh tangan Tuhan sendiri. Sebaliknya, hal itu secara pribadi disebabkan oleh Iblis, musuh Tuhan. Akibatnya, tingkat penderitaan yang dialami oleh Ayub sangat mendalam. Namun, pada saat ini Ayub dengan sepenuhnya menunjukkan pengetahuannya sehari-hari tentang Tuhan di dalam hatinya, prinsip tindakannya sehari-hari, dan sikapnya terhadap Tuhan—dan inilah faktanya. Jika Ayub tidak dicobai, jika Tuhan tidak mendatangkan ujian kepada Ayub, maka ketika Ayub berkata, “Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh,” engkau akan mengatakan bahwa Ayub adalah seorang munafik. Tuhan telah memberinya begitu banyak harta, jadi, tentu saja dia memuji nama Yahweh. Jika, sebelum mengalami ujian, Ayub berkata: “Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?” engkau akan mengatakan bahwa Ayub membual, dan bahwa dia tidak akan meninggalkan nama Tuhan karena dia sering diberkati oleh tangan Tuhan. Engkau akan berkata bahwa jika Tuhan mendatangkan malapetaka atasnya, dia pasti akan meninggalkan nama Tuhan. Namun ketika Ayub mendapati dirinya dalam keadaan yang tak seorang pun mau mengalaminya atau melihatnya, keadaan yang tidak diinginkan seorang pun untuk menimpa mereka, yang mereka takut akan menimpa mereka, keadaan yang Tuhan pun tidak tahan menyaksikannya, Ayub masih dapat berpegang teguh pada kesalehannya: “Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh”, dan “Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?” Diperhadapkan dengan perilaku Ayub pada saat ini, mereka yang suka mengucapkan perkataan yang terdengar tinggi, dan yang suka membicarakan kata-kata dan doktrin, semuanya tidak mampu berkata-kata. Mereka yang memuji nama Tuhan hanya dalam ucapan, tetapi tidak pernah menerima ujian dari Tuhan, dihukum oleh kesalehan yang dipegang teguh oleh Ayub dan mereka yang tidak pernah percaya bahwa manusia mampu memegang teguh jalan Tuhan dihakimi oleh kesaksian Ayub. Diperhadapkan dengan perilaku Ayub selama ujian ini dan perkataan yang dia ucapkan, sebagian orang akan merasa bingung, sebagian akan merasa iri, sebagian akan merasa ragu, dan sebagian bahkan akan tampak tidak tertarik, menolak kesaksian Ayub karena mereka tidak hanya melihat siksaan yang menimpa Ayub selama ujian, dan membaca perkataan yang diucapkan oleh Ayub, tetapi juga melihat “kelemahan” manusia yang diperlihatkan oleh Ayub ketika ujian menimpanya. “Kelemahan” ini mereka yakini sebagai cela yang dianggap ada dalam hidup Ayub yang tak bercela, noda dalam diri seorang manusia yang di mata Tuhan tak bercela. Dengan kata lain ada keyakinan bahwa mereka yang tak bercela adalah manusia tanpa cacat, tanpa noda atau kekotoran, bahwa mereka tidak memiliki kelemahan, tidak mengenal penderitaan, bahwa mereka tidak pernah merasa tidak bahagia atau sedih, dan tanpa kebencian atau perilaku lahiriah yang ekstrem sedikit pun; sebagai akibatnya, sebagian besar orang tidak percaya bahwa Ayub benar-benar tak bercela. Orang tidak menyetujui sebagian besar perilakunya selama ujiannya. Misalnya, ketika Ayub kehilangan harta bendanya dan anak-anaknya, dia tidak menangis seperti yang dibayangkan orang. “Ketidakpedulian”-nya membuat orang berpikir dia tidak punya perasaan karena dia tidak mengeluarkan air mata atau memiliki kasih sayang terhadap keluarganya. Ini adalah kesan buruk pertama yang orang lain miliki akan Ayub. Mereka mendapati perilakunya setelah itu bahkan lebih membingungkan: “mengoyak jubahnya” ditafsirkan orang sebagai sikapnya yang tidak menghormati Tuhan, dan “mencukur kepalanya” secara keliru diyakini sebagai penghujatan dan penentangan Ayub terhadap Tuhan. Selain dari perkataan Ayub bahwa “Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh”, orang tidak melihat satu pun kebenaran pada diri Ayub yang dipuji oleh Tuhan, dan dengan demikian penilaian tentang Ayub yang dibuat oleh sebagian besar dari mereka tidak lebih daripada ketidaktahuan, kesalahpahaman, keraguan, kecaman, dan persetujuan dalam teori saja. Tak seorang pun dari mereka yang benar-benar mampu memahami dan menghargai perkataan Tuhan Yahweh bahwa Ayub adalah seorang yang tak bercela dan jujur, yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan.
Berdasarkan kesan mereka tentang Ayub di atas, orang memiliki keraguan lebih lanjut mengenai kebenaran Ayub, karena tindakannya dan perilakunya yang dicatat dalam Alkitab tidak terlalu mengharukan seperti yang dibayangkan orang. Dia bukan hanya tidak menunjukkan prestasi besar apa pun, tetapi dia juga mengambil sepotong beling untuk menggaruk-garuk tubuhnya sendiri sambil duduk di tengah abu. Tindakan ini juga mengherankan orang dan menyebabkan mereka ragu—dan bahkan menyangkal—kebenaran Ayub, karena sementara menggaruk-garuk tubuhnya sendiri Ayub tidak berdoa atau berjanji kepada Tuhan; atau, selain itu, dia tidak terlihat menangis karena kesakitan. Pada saat ini, orang hanya melihat kelemahan Ayub dan tidak ada yang lain, dan dengan demikian bahkan ketika mereka mendengar Ayub berkata “Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?” mereka sama sekali tidak tergerak, atau bahkan ragu-ragu, dan tetap tidak dapat melihat kebenaran Ayub dari perkataannya. Kesan dasar yang ditunjukkan Ayub kepada orang selama siksaan dalam ujiannya adalah bahwa dia tidak rendah hati, juga tidak congkak. Orang tidak melihat kisah di balik perilakunya yang terjadi di lubuk hatinya, dan mereka juga tidak melihat rasa takut akan Tuhan di dalam hatinya atau ketaatan-Nya pada prinsip jalan menjauhi kejahatan. Kesabarannya membuat orang mengira bahwa hidupnya yang tak bercela dan kejujurannya hanyalah kata-kata kosong, bahwa sikap takutnya akan Tuhan hanyalah desas-desus; sementara itu, “kelemahan” yang dia ungkapkan secara lahiriah menimbulkan kesan yang mendalam pada mereka, yang memberi mereka “sudut pandang baru”, dan bahkan “pemahaman baru” terhadap orang yang Tuhan definisikan sebagai seorang yang tak bercela dan jujur. “Sudut pandang baru” dan “pemahaman baru” seperti ini terbukti ketika Ayub membuka mulutnya dan mengutuk hari kelahirannya.
Meskipun tingkat siksaan yang dideritanya tidak terbayangkan dan tidak dapat dipahami oleh siapa pun, Ayub tidak mengucapkan perkataan yang membangkang, tetapi hanya mengurangi rasa sakit di tubuhnya dengan caranya sendiri. Sebagaimana dicatat dalam Alkitab, dia berkata: “Kiranya hari kelahiranku lenyap, dan malam yang mengatakan, Ada anak lelaki sedang dikandung” (Ayub 3:3). Mungkin, tak seorang pun pernah menganggap perkataan ini penting, dan mungkin ada orang-orang yang telah memperhatikan perkataan tersebut. Menurut pandangan engkau semua, apakah perkataan itu berarti bahwa Ayub menentang Tuhan? Apakah perkataan itu merupakan keluhan kepada Tuhan? Aku tahu bahwa banyak dari antaramu memiliki pemahaman tertentu tentang perkataan yang diucapkan Ayub ini dan percaya bahwa jika Ayub tak bercela dan jujur, dia seharusnya tidak menunjukkan kelemahan atau kesedihan apa pun, dan seharusnya malah menghadapi serangan dari Iblis secara positif, dan bahkan tersenyum dalam menghadapi pencobaan Iblis. Dia seharusnya tidak bereaksi sedikit pun terhadap siksaan yang ditimpakan pada tubuhnya oleh Iblis, dan dia juga seharusnya tidak memperlihatkan emosi apa pun di dalam hatinya. Dia bahkan seharusnya meminta agar Tuhan membuat ujian ini jauh lebih berat lagi. Inilah yang seharusnya ditunjukkan dan dimiliki oleh orang yang teguh dan yang benar-benar takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Di tengah siksaan yang ekstrem ini, Ayub hanya mengutuk hari kelahirannya. Dia tidak mengeluh tentang Tuhan, apalagi berniat menentang Tuhan. Ini jauh lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, karena sejak zaman dahulu hingga sekarang, tak seorang pun pernah mengalami pencobaan seperti itu atau mengalami apa yang menimpa Ayub. Jadi, mengapa tak seorang pun pernah mengalami jenis pencobaan yang sama seperti Ayub? Itu karena, dari sudut pandang Tuhan, tak seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab atau amanat semacam itu, tak seorang pun yang mampu melakukan seperti yang Ayub lakukan, bahkan, selain mengutuki hari kelahiran mereka, tak seorang pun yang mampu tetap tidak meninggalkan nama Tuhan dan terus memuji nama Tuhan Yahweh seperti yang Ayub lakukan ketika siksaan seperti itu menimpa dirinya. Adakah yang dapat melakukan ini? Ketika kita mengatakan hal ini tentang Ayub, apakah kita sedang memuji perilakunya? Ayub adalah orang benar dan mampu menjadi kesaksian bagi Tuhan, dan mampu membuat Iblis melarikan diri dengan malu dan kecewa, sehingga Iblis tidak pernah datang lagi ke hadapan Tuhan untuk menuduhnya—jadi apa salahnya memuji Ayub? Mungkinkah engkau semua memiliki standar yang lebih tinggi daripada Tuhan? Mungkinkah engkau semua akan bertindak lebih baik daripada Ayub ketika ujian menimpamu? Ayub dipuji Tuhan—keberatan apa yang dapat engkau semua miliki terhadap pujian Tuhan?
Ayub Mengutuk Hari Kelahirannya karena Dia Tidak Ingin Tuhan Merasa Sedih karena Dirinya
Aku sering mengatakan bahwa Tuhan melihat lubuk hati manusia, sedangkan manusia melihat aspek lahiriah orang lain. Karena Tuhan melihat lubuk hati manusia, Dia memahami hakikat mereka, sedangkan manusia mendefinisikan hakikat orang lain berdasarkan aspek lahiriahnya. Ketika Ayub membuka mulutnya dan mengutuk hari kelahirannya, tindakan ini mengejutkan semua tokoh rohani, termasuk ketiga teman Ayub. Manusia berasal dari Tuhan dan harus bersyukur atas jiwa dan raganya, serta hari kelahirannya, yang dianugerahkan kepadanya oleh Tuhan, dan dia tidak boleh mengutuknya. Ini adalah sesuatu yang dapat dimengerti dan dipahami oleh orang biasa. Bagi siapa pun yang mengikut Tuhan, pemahaman ini sakral dan harus dihormati, dan itu adalah kebenaran yang tidak pernah bisa berubah. Sebaliknya, Ayub melanggar aturan itu: dia mengutuk hari kelahirannya. Ini adalah tindakan yang oleh orang biasa dianggap sebagai memasuki wilayah terlarang. Ayub bukan hanya tidak berhak mendapatkan pemahaman dan simpati orang lain, dia juga tidak berhak mendapatkan pengampunan Tuhan. Pada saat yang sama, bahkan lebih banyak orang menjadi ragu terhadap kebenaran Ayub karena tampaknya perkenanan Tuhan terhadapnya membuat Ayub berpuas diri; membuatnya begitu berani dan ceroboh sehingga dia tak hanya tidak bersyukur kepada Tuhan karena memberkatinya dan menjaganya selama hidupnya, tetapi dia juga mengutuk hari kelahirannya sampai kebinasaan. Apa namanya ini kalau bukan penentangan terhadap Tuhan? Kedangkalan pemahaman seperti ini memberi bukti kepada manusia untuk mengutuk tindakan Ayub ini, tetapi siapa yang dapat mengetahui apa yang sebenarnya dipikirkan Ayub pada waktu itu? Siapa yang dapat mengetahui alasan mengapa Ayub bertindak seperti itu? Hanya Tuhan dan Ayub sendiri yang tahu hal yang sebenarnya dan apa alasannya.
Ketika Iblis mengulurkan tangannya untuk menyakiti tulang-tulang Ayub, Ayub jatuh ke dalam cengkeramannya, tanpa sarana untuk melarikan diri atau kekuatan untuk melawan. Tubuh dan jiwanya menderita rasa sakit yang luar biasa, dan rasa sakit ini membuatnya sangat sadar akan ketidakberartian, kerapuhan, dan ketidakberdayaan manusia yang hidup di dalam tubuh. Pada saat yang sama, dia juga memperoleh penghargaan dan pemahaman yang mendalam tentang mengapa Tuhan ingin menjaga dan memelihara umat manusia. Dalam cengkeraman Iblis, Ayub menyadari bahwa manusia, yang terdiri dari darah dan daging, sebenarnya sangat tidak berdaya dan lemah. Ketika dia berlutut dan berdoa kepada Tuhan, Ayub merasa seolah-olah Tuhan sedang menutupi wajah-Nya dan bersembunyi, karena Tuhan telah sepenuhnya menyerahkan dia ke dalam tangan Iblis. Pada saat yang sama, Tuhan juga menangis untuknya, dan selain itu, berduka baginya; Tuhan merasa sedih karena rasa sakit yang Ayub alami, dan merasa terluka karena luka yang Ayub alami .... Ayub merasakan kepedihan Tuhan dan juga merasakan betapa tak tertahankannya hal itu bagi Tuhan .... Ayub tidak mau lagi menimbulkan kesedihan bagi Tuhan, dan dia juga tidak ingin Tuhan menangis untuknya, apalagi melihat Tuhan sedih karena dirinya. Pada saat ini, Ayub hanya ingin melepaskan diri dari tubuhnya, agar tidak lagi menanggung rasa sakit yang ditimbulkan oleh tubuh ini, karena hal ini akan membuat Tuhan tidak lagi merasa tersiksa karena rasa sakit yang dialaminya—tetapi dia tidak bisa, dan dia harus menanggung tidak hanya rasa sakit pada tubuhnya, tetapi juga rasa tersiksa karena tidak ingin membuat Tuhan gelisah. Kedua rasa sakit ini—yang satu berasal dari tubuh, dan yang lain berasal dari roh—menimbulkan rasa sakit yang menyayat hati dan memilukan dalam diri Ayub, dan membuatnya merasakan bagaimana keterbatasan manusia yang terbuat dari darah dan daging dapat membuat orang merasa frustrasi dan tidak berdaya. Dalam keadaan seperti ini, kerinduannya kepada Tuhan semakin kuat, dan kebenciannya terhadap Iblis semakin kuat. Pada saat ini, Ayub lebih suka tidak pernah dilahirkan ke dunia manusia, lebih suka bahwa dia tidak ada, daripada melihat Tuhan menangis atau merasa sakit karena dia. Dia mulai sangat membenci tubuhnya, merasa muak akan dirinya sendiri, akan hari kelahirannya, dan bahkan akan semua hal yang berhubungan dengan dirinya. Dia tidak mau lagi ada penyebutan hari kelahirannya atau apa pun yang berkaitan dengannya, dan karena itu dia membuka mulutnya dan mengutuk hari kelahirannya: “Kiranya hari kelahiranku lenyap, dan malam yang mengatakan, Ada anak lelaki sedang dikandung. Biarlah hari itu menjadi kegelapan; Janganlah kiranya Tuhan yang di atas mengindahkannya, dan janganlah terang menyinarinya” (Ayub 3:3-4). Perkataan Ayub ini menunjukkan kebenciannya terhadap dirinya sendiri, “Kiranya hari kelahiranku lenyap, dan malam yang mengatakan, Ada anak lelaki sedang dikandung,” serta rasa bersalah yang dia rasakan terhadap dirinya sendiri dan rasa berutangnya karena telah menyebabkan kepedihan kepada Tuhan, “Biarlah hari itu menjadi kegelapan; Janganlah kiranya Tuhan yang di atas mengindahkannya, dan janganlah terang menyinarinya.” Kedua ayat ini adalah ungkapan terakhir tentang bagaimana perasaan Ayub saat itu, dan sepenuhnya menunjukkan hidupnya yang tak bercela dan kejujurannya kepada semua orang. Pada saat yang sama, sebagaimana yang diinginkan Ayub, iman dan ketundukannya kepada Tuhan, serta sikapnya yang takut akan Tuhan, benar-benar meningkat. Tentu saja, peningkatan seperti inilah yang justru merupakan hasil yang Tuhan harapkan.
Ayub Mengalahkan Iblis dan Menjadi Manusia Sejati di Mata Tuhan
Ketika Ayub pertama kali menjalani ujiannya, semua harta bendanya dan semua anaknya diambil, tetapi dia tidak jatuh atau mengatakan apa pun yang merupakan dosa terhadap Tuhan dari ujian tersebut. Dia telah mengalahkan pencobaan Iblis, dan dia telah mengalahkan harta bendanya, keturunannya, dan ujian kehilangan semua harta duniawinya, yang berarti dia mampu tunduk kepada Tuhan saat Dia mengambil segala sesuatu darinya dan dia mampu memberikan pujian dan ucapan syukur kepada Tuhan karena apa yang Tuhan lakukan. Begitulah perilaku Ayub selama pencobaan pertama dari Iblis, dan itu juga merupakan kesaksian Ayub selama ujian pertama Tuhan. Dalam ujian kedua, Iblis mengulurkan tangannya untuk menyakiti Ayub, dan walaupun Ayub mengalami penderitaan yang lebih berat daripada yang pernah dirasakannya sebelumnya, tetapi kesaksiannya itu cukup untuk membuat orang-orang merasa sangat takjub. Dia menggunakan ketabahan, keyakinan, dan ketundukannya kepada Tuhan, serta rasa takutnya akan Tuhan, untuk sekali lagi mengalahkan Iblis, dan perilakunya serta kesaksiannya sekali lagi diperkenan dan disukai oleh Tuhan. Selama pencobaan ini, Ayub menggunakan perilakunya yang sebenarnya untuk menyatakan kepada Iblis bahwa rasa sakit pada tubuhnya tidak dapat mengubah iman dan ketundukannya kepada Tuhan atau merampas pengabdiannya kepada Tuhan dan hatinya yang takut akan Tuhan; dia tidak akan meninggalkan Tuhan atau menyerahkan hidupnya yang tak bercela dan kejujurannya sendiri karena dia menghadapi kematian. Tekad Ayub membuat Iblis menjadi takut, imannya membuat Iblis gentar dan gemetar, intensitas yang dengannya dia berperang melawan Iblis selama peperangan antara hidup dan mati mereka, melahirkan kebencian dan kemarahan yang mendalam kepada Iblis; hidupnya yang tak bercela dan kejujuran Ayub membuat Iblis tidak mampu berbuat apa pun lagi kepadanya, sehingga Iblis menghentikan serangannya terhadap dia dan menghentikan tuduhannya terhadap Ayub yang didakwakannya di hadapan Tuhan Yahweh. Ini berarti bahwa Ayub telah mengalahkan dunia. Dia telah mengalahkan tubuhnya. Dia telah mengalahkan Iblis, dan dia telah mengalahkan kematian; dia benar-benar dan sepenuhnya merupakan manusia kepunyaan Tuhan. Selama kedua ujian ini, Ayub tetap teguh dalam kesaksiannya, dan benar-benar menghidupi hidupnya yang tak bercela dan kejujurannya, dan memperluas ruang lingkup prinsip hidupnya yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Setelah mengalami kedua ujian ini, lahirlah dalam diri Ayub pengalaman yang lebih kaya, dan pengalaman ini membuatnya lebih dewasa dan berpengalaman, membuatnya lebih kuat, dan memiliki keyakinan yang lebih besar, dan membuatnya lebih yakin akan kebenaran dan pentingnya kesalehan yang dia pegang teguh. Ujian Tuhan Yahweh terhadap Ayub memberinya pemahaman dan rasa kepedulian yang mendalam tentang perhatian Tuhan kepada manusia, dan membuatnya dapat merasakan betapa berharganya kasih Tuhan, yang darinya perhatian dan kasih kepada Tuhan ditambahkan ke dalam sikapnya yang takut akan Tuhan. Ujian dari Tuhan Yahweh bukan saja tidak menjauhkan Ayub dari-Nya, tetapi juga membuat hatinya semakin dekat kepada Tuhan. Ketika rasa sakit jasmani yang dialami oleh Ayub mencapai puncaknya, perhatian yang dia rasakan dari Tuhan Yahweh membuatnya tidak punya pilihan selain mengutuk hari kelahirannya. Perilaku seperti ini tidak direncanakan sejak lama, tetapi merupakan ungkapan alami dari perhatian dan kasih kepada Tuhan dari dalam hatinya, itu adalah ungkapan alami yang berasal dari perhatian dan kasihnya kepada Tuhan. Dengan kata lain, karena dia membenci dirinya sendiri dan dia tidak mau, dan tidak tahan membiarkan Tuhan tersiksa, maka perhatian dan kasihnya mencapai titik tanpa pamrih. Pada saat ini, Ayub meningkatkan pemujaan dan kerinduannya yang telah lama ada kepada Tuhan dan pengabdiannya kepada Tuhan sampai ke tingkat perhatian dan kasih. Pada saat yang sama, dia juga meningkatkan iman dan ketaatannya kepada Tuhan dan sikapnya yang takut akan Tuhan sampai ke tingkat perhatian dan kasih. Dia tidak membiarkan dirinya melakukan apa pun yang akan melukai hati Tuhan, dia tidak membiarkan dirinya melakukan tindakan yang akan menyakiti Tuhan, dan tidak membiarkan dirinya menimbulkan kedukaan, kesedihan, atau bahkan ketidakbahagiaan kepada Tuhan karena alasannya sendiri. Di mata Tuhan, meskipun Ayub masih Ayub yang sama seperti dahulu, iman, ketaatan, dan sikap Ayub yang takut akan Tuhan membuat Tuhan sangat puas dan gembira. Pada saat ini, Ayub telah mencapai kesempurnaan yang Tuhan harapkan untuk dia capai; dia telah menjadi orang yang benar-benar layak disebut “tak bercela dan jujur” di mata Tuhan. Perbuatannya yang benar membuatnya dapat mengalahkan Iblis dan tetap teguh dalam kesaksiannya kepada Tuhan. Demikian juga, perbuatannya yang benar menjadikannya tak bercela, dan membuat nilai kehidupannya meningkat dan melampaui lebih dari sebelumnya, dan semua itu juga menjadikannya orang pertama yang tidak lagi diserang dan dicobai oleh Iblis. Karena Ayub adalah orang benar, dia dituduh dan dicobai Iblis; karena Ayub adalah orang benar, dia diserahkan kepada Iblis; dan karena Ayub adalah orang benar, dia mengatasi dan mengalahkan Iblis, dan tetap teguh dalam kesaksiannya. Mulai saat itu, Ayub menjadi orang pertama yang tidak akan pernah lagi diserahkan kepada Iblis, dia benar-benar datang ke hadapan takhta Tuhan dan hidup dalam terang, di bawah berkat Tuhan tanpa diintai atau ingin dijatuhkan oleh Iblis .... Dia telah menjadi manusia sejati di mata Tuhan; dia telah dibebaskan ...
—Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, “Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II”