Menu

Kebangunan Rohani Seorang Kristen: Bagaimana Menyingkirkan Diri Sendiri dari Rasa Sakit Kekosongan Batin

Aku berdiri di jalan yang sibuk, mendengarkan bunyi klakson mobil, melihat kerumunan pejalan kaki yang lewat sementara bus-bus macet di persimpangan, penuh sesak seperti ikan sarden di sepanjang jalan. Dalam lingkungan semacam ini, udara memiliki ketegangan yang gamblang. Di zaman pertumbuhan ekonomi yang melonjak ini, laju kehidupan menjadi semakin sibuk.

Mulai pukul lima pagi, kereta bawah tanah kota mulai ramai. Keributan berlangsung sepanjang hari dan hanya pada larut malam kerumunan jalanan mulai menipis. Meski begitu, lampu gedung perkantoran tertentu tetap menyala sepanjang malam. Orang-orang semuanya sedang sibuk, dan hidup mereka seperti gasing yang berputar dengan kecepatan yang semakin cepat. Beberapa orang mengejar impian mereka, naik pangkat di bidang mereka; Beberapa, untuk menafkahi keluarga mereka, bekerja sepanjang waktu, tidak pernah melewatkan setiap kesempatan untuk menghasilkan uang; Yang lain memeras otak mencari cara untuk menjadi kaya, sehingga mereka dapat menjalani kehidupan mewah … beberapa mewujudkan keinginan mereka—di jalan mengejar materi dan kekayaan, mereka mendapatkan kemewahan tanpa batas; yang lain tidak seberuntung itu dan jalan mereka menuju keuntungan dan ketenaran didera dengan kegagalan berulang. Baik itu selebritas, tokoh yang dihormati, atau hanya orang biasa, semua orang berjuang dan bertahan melalui racun kehidupan modern yang menyesakkan, dan aku juga tidak berbeda.

Di jalan mengejar kekayaan dan ketenaran ini, aku mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan sekolah, berharap untuk "Menonjolkan diri dan membawa kehormatan bagi nenek moyangnya." Aku ingin lebih unggul dari rekan-rekanku dan menjadi salah satu elite, sehingga semua orang akan memandangku dengan kehormatan dan kekaguman. Aku berkata pada diri sendiri bahwa aku harus bekerja keras untuk mencapai tujuanku dan aku sering menantikan hari ketika impianku akan menjadi kenyataan. Pada hari-hari dan tahun-tahun berikutnya, aku menyerahkan diriku untuk belajar dengan rajin dan berusaha lebih keras daripada rekan-rekanku. Setelah lebih dari sepuluh tahun belajar keras, aku lulus ujian dan berhasil masuk universitas, dan mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi setelah lulus, seperti yang aku harapkan. Namun, dalam masyarakat yang menghargai uang di atas segalanya, orang-orang terlibat dalam segala macam tipu muslihat, intrik, dan penipuan untuk memenangkan status dan kekuasaan. Bergaul dengan segala macam orang, hari demi hari, aku perlahan-lahan kehilangan diriku. Semakin sibuk aku, semakin aku merasakan semacam rasa kecemasan yang aneh mendekatiku dan semakin aku mengejar tujuan yang ingin kucapai, semakin aku merasakan ketidakberdayaan dan kekosongan di dalamnya. Aku telah jatuh ke dalam lingkaran Iblis dan sering merasa cemas dan gelisah, yang tidak dapat dijelaskan. Setelah mencapai impianku untuk "Menonjolkan diri dan membawa kehormatan bagi nenek moyangnya" melalui lebih dari sepuluh tahun belajar dengan rajin, aku harus merasa bahagia, puas dan senang, jadi aku tidak bisa mengerti mengapa aku tidak bahagia sama sekali. Dan tidak merasakan sedikitpun penghiburan dalam rohku. Bagaimana bisa, sebaliknya, aku merasa benar-benar hampa di dalam rohku? Aku tidak dapat menemukan akar masalahku, apalagi aku tahu bagaimana melepaskan diri dari perasaan cemas dan kekosongan yang aneh ini.

Kemudian, aku menemukan jawaban dalam firman Tuhan: "Ketenaran dan kekayaan yang orang dapatkan di dunia materiel memberi kepuasan yang sementara, kenikmatan yang segera berlalu, kemudahan yang semu; dalam prosesnya, semua itu menyebabkan orang kehilangan arah. Dan karenanya, orang-orang, saat mereka berdesakan di tengah lautan manusia, saat mendambakan kedamaian, kenyamanan, dan ketenangan hati, mereka diliputi oleh gelombang demi gelombang. Jika orang belum menemukan pertanyaan yang paling penting untuk dipahami—dari mana mereka berasal, mengapa mereka hidup, ke mana mereka akan pergi, dan lain sebagainya—mereka tergoda oleh ketenaran dan kekayaan, disesatkan dan dikendalikan oleh semua itu dan tersesat tanpa bisa kembali lagi. Waktu berlalu; bertahun-tahun lewat dalam sekejap mata dan sebelum menyadarinya, orang telah mengucapkan selamat tinggal pada masa-masa terbaik dalam hidupnya" ("Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III" dalam Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia). Firman Tuhan membuatku melihat dengan jelas mengapa aku tersesat. Masalahnya, ternyata, adalah pengejaranku akan kekayaan dan ketenaran, aku merenungkan bagaimana dalam mengejar tujuanku, aku tidak pernah menemukan arah yang benar dan, sebaliknya, dipimpin oleh kekayaan dan ketenaran, berpikir bahwa pencapaian kekayaan dan ketenaran akan memungkinkanku untuk menikmati gaya hidup material yang baik dan didukung dan dipuji oleh rekan-rekanku. Ketika aku mendorong diriku ke batas dalamq akademik, ketika aku memecahkan masalah yang paling sulit, ketika aku berdiri di atas panggung untuk menerima penghargaan, ketika aku menerima pujian dari orang lain, ketika aku mulai bekerja dan menghasilkan satu juta pertamaku ... secara keseluruhan, di saat-saat ini, aku merasakan kepuasan dan kebahagian sesaat dan percaya bahwa aku akhirnya menunjukkan nilai kehidupanku. Ini akan mendorongku untuk terus bekerja lebih keras lagi, dengan harapan pencapaian yang lebih besar lagi ... aku tidak pernah membayangkan bahwa tanpa disadari aku telah sepenuhnya terjebak dalam pusaran di mana aku hanya berusaha mengejar ketenaran dan kekayaan. Seiring waktu berlalu, aku terjebak semakin mendalam, secara bertahap kehilangan diriku dan benar-benar tidak mampu melangkah dari jalan menuju kekayaan dan ketenaran. Sepanjang proses ini, aku selalu merasakan kekosongan yang berkepanjangan yang membuatku cemas, tidak berdaya dan gelisah, tetapi aku tidak tahu apa masalahnya. Hanya setelah membaca firman Tuhan, aku menyadari bahwa semua masalahku berasal dari pengejaran kekayaan dan ketenaran tanpa akhir. Kekayaan dan ketenaran telah menjadi tongkat yang mendorong aku maju, dan pengejaran tunggal ini telah membuat aku tersesat, sehingga aku merasa kehilangan arah dan tujuan, dan tidak dapat menemukan tempat bernaung yang sejati di dalam jiwaku.

Firman Tuhan membuatku untuk memahami sumber kekosongan, dan menunjukkan kepadaku bagaimana di dunia fana yang penuh keinginan material ini, semua orang berjuang untuk ketenaran dan kekayaan, dan memberikan segalanya dalam pengejaran mereka, tetapi hampir tidak ada yang mencari makna hidup. Sama seperti firman Tuhan yang mengatakan: "Selama puluhan, ribuan, bahkan puluhan ribu tahun hingga saat ini, orang telah menghabiskan waktu mereka dengan cara ini, tanpa ada yang menciptakan kehidupan yang sempurna, semuanya hanya bertujuan saling membantai di dunia yang gelap ini, berlomba-lomba mengejar ketenaran, keberuntungan, dan saling menjatuhkan. Siapakah yang pernah mencari kehendak Tuhan? Adakah yang pernah mengindahkan pekerjaan Tuhan?" (Pekerjaan dan Jalan Masuk (3)). Kata-kata ini membuatku memikirkan kembali bagaimana, dalam mengejar ketenaran dan kekayaan, kita terlibat dalam perjuangan dan pembantaian bersama, dan tidak berani menyia-nyiakan satu detik pun. Kita meneriakkan kata-kata yang terdengar tinggi seperti "Mewujudkan cita-cita dan hasrat", "Berjuang untuk karier" dan dll., sebagai alasan untuk berjuang untuk maju dari orang lain, dan kita juga takut kalah. Kita takut jika kita lengah hanya satu detik, kita akan kehilangan segalanya dan takut jika kita tidak dapat mengimbangi masyarakat, kita akan disingkirkan. Hati kita dipenuhi rasa takut, jadi kita menceburkan diri ke dalam studi kita, dan membakar minyak di tengah malam; di tempat kerja, kita saling membantai, dan terus bekerja untuk memperbarui pengetahuan kita; di pasar, kita terlibat dalam intrik, dan hanya memikirkan bagaimana mempertahankan hubungan interpersonal yang rumit dengan rekan kerja; di ranah politik, kita berperang secara pribadi, mengarungi segala macam situasi yang genting dan berbahaya, dan tampaknya selalu tertatih-tatih di tepi jurang. Dalam mengejar ketenaran dan kekayaan, tidak ada yang tahu siapa yang akan menang dan siapa yang kalah. Namun, semua orang bertaruh seolah-olah dicengkeram oleh kegilaan, tidak ada yang mau kalah dan karenanya mereka selalu bersiap untuk pertempuran berikutnya. Kita senang dengan keberhasilan yang cepat berlalu dan menderita dalam kegagalan kita. Tetapi kita menolak untuk menerima kegagalan, jadi kita bangkit kembali dan berjuang sekali lagi untuk kesuksesan kita berikutnya ... Bolak-balik dengan cara ini, dan kita tidak bisa lepas dari lingkaran Iblis ini. Dalam mengejar uang, ketenaran, kekuasaan, dan status, kita menjalani gaya hidup yang serba cepat ini hari demi hari. Setiap orang berjuang untuk hal-hal yang mereka inginkan, semakin tenggelam dalam dosa dan kejahatan, semakin menjauh dari Tuhan, dan secara bertahap kehilangan arah dalam hidup. Tidak ada yang berhenti untuk merenungkan makna dan nilai hidup yang sebenarnya, berpikir bahwa hanya dengan mengejar apa yang mereka inginkan, mereka tidak akan hidup sia-sia. Kita didorong tanpa henti oleh ketenaran dan kekayaan, maju secara membabi buta seolah-olah dalam kabut, dan menyia-nyiakan waktu yang berharga ... Berapa banyak orang yang bekerja keras untuk mewujudkan hasrat mereka sehingga tubuh dan jiwa mereka kelelahan? Hari demi hari mereka bekerja lembur, mereka melemparkan diri mereka sendiri ke dalam pekerjaan mereka, kadang-kadang bahkan mengorbankan hidup mereka. Jadi, kita sering mendengar orang mati karena terlalu banyak bekerja. Berapa banyak orang, setelah berhasil dalam pekerjaan mereka dan memperoleh reputasi yang baik, yang menyadari bahwa kesehatan mereka telah lama memburuk dan bahwa semua ketenaran dan kekayaan di dunia tidak akan berdaya untuk meringankan hukuman mati dari penyakit apa pun yang menimpa mereka. Ketika mereka akhirnya menyadari semua ini, sudah terlambat. Dalam perjuangan kita untuk ketenaran dan kekayaan, kita hidup di bawah wilayah kekuasaan gelap Iblis, kehilangan berkat Tuhan dan tenggelam ke dalam jurang penderitaan yang tak berujung.

Apa yang dapat kita lakukan untuk melawan godaan Iblis, melangkah dari jalan menuju ketenaran dan kekayaan, dan menjalani gaya hidup yang senang dan bebas? Dalam pencarian aku untuk jawaban atas pertanyaan ini, aku menemukan pengalaman Ayub dan Abraham dalam sebuah buku yang kubaca dan sangat tersentuh, dan aku telah menemukan arah hidupku. Ayub adalah seorang pria dengan status tinggi di antara orang-orang Timur, tetapi dia tidak mengutamakan posisi dan identitasnya di masyarakat, melainkan mengabdikan hidupnya untuk menempuh jalan takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Ketika Iblis menyerang dan mencobai Ayub, dengan membuat dia kehilangan harta bendanya, Ayub tidak khawatir tentang bagaimana dia memulihkan kekayaannya dan mengukuhkan kedudukannya di masyarakat, melainkan mencari kehendak Tuhan. Dia tahu bahwa tidak peduli apakah Tuhan memberi atau mengambil, dia harus memuji nama Tuhan Yahweh. Karena itu, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun keluhan terhadap Tuhan dan berdiri teguh dalam kesaksiannya bagi Tuhan. Ayub menerima pujian Tuhan dan menjalani kehidupan yang paling berarti dan berharga. Abraham adalah orang dengan kekayaan dan reputasi yang tidak sedikit di komunitasnya, tetapi dia tidak hidup untuk ketenaran dan kekayaan. Ia juga mengabdikan hidupnya untuk menyembah Tuhan dan menaati Tuhan. Ketika Tuhan memerintahkan dia untuk meninggalkan negaranya dan pindah ke tempat yang Tuhan tentukan, Abraham tidak kesulitan meninggalkan reputasinya dan tidak khawatir tentang masa depan, tetapi hanya mendengarkan firman Tuhan, tunduk pada pengaturan dan kedaulatan Tuhan, dan dengan tegas mencabut dirinya dari negara lamanya. Ketika Abraham memiliki anak pertamanya pada usia seratus tahun, Tuhan mengujinya dengan meminta agar dia mengembalikan anak pertamanya kepada Tuhan. Abraham tidak melihat pilihan selain melakukan apa yang Tuhan katakan—dia tidak mencoba untuk bernalar dengan Tuhan, tetapi langsung tunduk kepada Tuhan, dan mengembalikan anak tunggalnya kepada Tuhan. Ketika Tuhan mengamati ketulusan hati Abraham, Dia tidak hanya menolak untuk mengambil Ishak, Dia bahkan memberkati Abraham dengan keturunan yang berlimpah seperti bintang di langit atau butiran pasir di tepi pantai. Baik Abraham maupun Ayub, mereka tidak tergoda oleh ketenaran dan kekayaan. Mereka tetap tunduk kepada Tuhan dan memiliki hati yang takut akan Tuhan tidak peduli situasi apa pun. Mereka mampu melakukannya karena mereka memahami hubungan mereka dengan Tuhan dan tahu bahwa, sebagai makhluk ciptaan, mereka harus menyembah Tuhan Sang Pencipta tanpa syarat. Aku percaya bahwa banyak dari kita, sebagai orang Kristen, memahami ini secara teori, tetapi kita akan kesulitan untuk meninggalkan kekayaan dan reputasi, mengikuti jalan Tuhan dan tunduk pada penataan dan pengaturan Tuhan seperti Abraham dan Ayub. Sebenarnya, sebagai manusia yang hidup di bumi ini, kita hanya harus berusaha untuk memahami Tuhan, menyembah Tuhan, mengamalkan firman Tuhan, dan menjadi orang yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Inilah kewajiban yang harus dipenuhi oleh kita sebagai makhluk ciptaan yang menikmati suplai kehidupan dari Tuhan, dan ini adalah makna dan nilai tertinggi dari kehidupan kita. Seperti yang Tuhan katakan: "Jika orang memiliki pemahaman sejati tentang watak Tuhan, dan mampu menaikkan pujian sepenuh hati atas kekudusan dan kebenaran-Nya, maka itu berarti mereka benar-benar mengenal Dia dan memiliki kebenaran; baru setelah itulah mereka hidup dalam terang. Hanya setelah pandangan manusia akan dunia dan akan kehidupan berubah barulah dia mengalami perubahan yang mendasar. Ketika orang memiliki tujuan hidup dan bersikap sesuai dengan kebenaran; ketika dia tunduk sepenuhnya kepada Tuhan dan hidup menurut firman-Nya, ketika orang merasa damai dan diterangi sampai pada kedalaman jiwanya; ketika hatinya bebas dari kegelapan; dan ketika dia dapat hidup sepenuhnya merdeka dan bebas di hadirat Tuhan, baru pada saat itulah dia menjalani kehidupan manusia sejati, dan baru setelah itulah dia menjadi orang yang memiliki kebenaran. Selain itu, semua kebenaran yang engkau miliki berasal dari firman Tuhan dan dari Tuhan itu sendiri. Penguasa seluruh alam semesta dan segala sesuatu—Tuhan Yang Mahatinggi—berkenan kepadamu sebagai seseorang yang menjalani kehidupan manusia sejati. Adakah yang dapat lebih bermakna daripada perkenanan Tuhan? Inilah artinya memiliki kebenaran" (Hanya dengan Mengejar Kebenaran Orang Dapat Mencapai Perubahan).

Melalui firman Tuhan, aku memiliki ketajaman dan pemahaman tentang nilai-nilai dan filosofi hidupku yang salah. Aku tidak lagi mau hidup dengan logika dan filosofi Iblis "Menonjolkan diri dan membawa kehormatan bagi nenek moyangnya" untuk mengejar ketenaran dan kekayaan. Aku sekarang bersedia untuk mengejar kebenaran, pengetahuan tentang Tuhan, tunduk kepada Tuhan dan menyembah Tuhan. Hanya dengan melakukan itu, aku dapat menjalani kehidupan yang paling berharga dan bermakna! Di bawah bimbingan firman Tuhan, aku melepaskan diri dari lingkaran setan kehidupanku yang serba cepat. Aku memiliki kesempatan baru dalam hidupku dan rohku juga mendapatkan kebebasan dan kelepasan.

Di zaman modern ini, dalam menghadapi dunia material dengan hal-hal yang indah dan mengasyikkan, ada terlalu banyak godaan atau pencobaan. Jika kita tidak memiliki kebenaran sebagai pemandu kita, terlalu mudah kehilangan arah. Ketika kita terhanyut dan tersesat dalam lautan perjuangan untuk ketenaran dan kekayaan, dan ketika kita tidak dapat menghilangkan perasaan hampa dan rasa sakit yang menyertai kita setiap hari dari kehidupan yang serba cepat, mengapa tidak datang ke hadapan Tuhan dan mendengarkan firman-Nya dengan hati kita? Mungkin itu yang kita butuhkan untuk keluar dari gaya hidup yang sibuk dan membuka lembaran baru.

Tinggalkan komentar