Popularitas dan keuntungan adalah tujuan yang dikejar oleh banyak orang seumur hidup mereka, meskipun banyak dari kita yang secara pribadi telah menyaksikan penderitaan orang lain ketika mereka menanggung rasa sakit dan penderitaan dalam perjuangan sengit untuk mendapatkan popularitas dan keuntungan. Namun, hanya sedikit yang bisa membebaskan diri dari belenggu pengejaran popularitas dan keuntungan yang tanpa akhir. Dalam mengejar popularitas dan keuntungan, beberapa orang menentang keluarga mereka sendiri, dan beberapa orang bahkan terdorong untuk membunuh. Yang lain mengejarnya dengan mengorbankan kesehatan mereka, menjadi didera kesakitan dan penyakit bahkan pada puncak masa muda mereka. Lalu masih ada orang lain yang, dalam pengejaran ini, memilih jalan hidup kejahatan. Banyak dari kita yang tidak bisa tidak selain masuk ke dalamnya dan bertanya kepada diri sendiri:"Apa hal paling bermakna yang harus kita kejar dalam hidup? Bisakah mengejar popularitas dan keuntungan benar-benar menjadi tiket menuju kebahagiaan?" Untuk membantu menjelaskan pertanyaan-pertanyaan ini, May—yang pernah mencurahkan seluruh energinya dalam perjuangan yang persis semacam itu—hadir di sini untuk membagikan kisahnya dengan kita ...
"May, apakah kamu benar-benar memutuskan untuk berhenti?"
"Ya, aku sudah memutuskan. Aku akan pergi ke Amerika Serikat untuk mendapatkan gelar masterku. Engkau tahu cara kerja segalanya di sini. Tidak ada yang sukses di perusahaan ini kecuali mereka memiliki gelar yang lebih tinggi," jawabku dengan tegas kepada rekanku.
Saat lulus dari perguruan tinggi, aku ingat, semua yang bisa kupikirkan hanyalah cara agar sukses di antara orang-orang dan menghasilkan sesuatu dari diriku sendiri. Suatu hari, aku berkata kepada diriku sendiri, aku akan mengendarai mobil mewah dan tinggal di rumah besar. Namun, perusahaan tempatku mulai bekerja menolak untuk mempekerjakan siapa pun untuk posisi eksekutif kecuali mereka memiliki gelar MBA atau PhD, yang membuatku memulai dari bawah sebagai karyawan pemula."Orang-orang berjuang untuk naik, tetapi air mengalir ke bawah," kataku pada diri sendiri. Untuk mendapat kesempatan kenaikan jabatan, aku sering tinggal sendirian setelah bekerja di perpustakaan perusahaan; aku membaca setiap laporan dari proyek-proyek sebelumnya. Aku menjadi pecandu kerja yang tak tahu malu. Pada lebih dari satu kesempatan, aku kelelahan sampai dadaku terasa sakit dan sulit bernapas. Pada akhirnya, ini memuncak dalam serangan asma yang parah. Berkali-kali, aku menepisnya."Tanpa kerja keras, tidak ada keberhasilan," aku terus berkata pada diriku sendiri. Setelah beberapa tahun bekerja keras, akhirnya aku menarik perhatian atasanku, hanya untuk tersingkirkan ketika seorang wanita lain yang telah bergabung dengan perusahaan lama setelah aku dan kurang terampil dalam pekerjaannya—tetapi yang memiliki gelar lebih tinggi—justru dipromosikan menjadi penyelia. Hal ini membuatku merasa sangat diremehkan dan tidak puas. Jadi, dengan pandanganku yang telah ditetapkan untuk memperoleh popularitas dan keuntungan, aku memutuskan untuk berhenti kerja dan pergi ke Amerika Serikat untuk mengejar gelar yang lebih tinggi.
Beberapa tahun kemudian, aku menerima gelar masterku dan kembali ke Taiwan untuk melanjutkan perjuanganku meniti karier perusahaan. Tak lama kemudian, aku memegang posisi senior di perusahaanku dan dibayar dengan gaji yang sangat tinggi. Aku tinggal di sebuah rumah besar, memboroskan uang untuk sanggraloka air panas, dan teman-teman dan keluargaku semuanya bertepuk tangan atas pencapaianku. Bisa dibilang aku sudah memiliki segalanya—popularitas dan keuntungan. Namun, aku masih belum puas dengan hidupku. Aku merasa benar-benar dikelilingi oleh wirausahawan dan investor yang sangat sukses, dan aku ingin sekali berada di tingkat mereka. Gagasan menjadi wirausahawan tak lama kemudian menjadi tak tergoyahkan. Untuk mewujudkan impianku menjadi kenyataan, aku terus bekerja sambil melakukan transaksi lahan yasan. Tak lama kemudian, aku telah mengambil hipotek untuk membeli beberapa properti sewaan. Sementara itu, aku juga mengambil kelas tentang investasi dan manajemen keuangan. Pertama, aku mulai mempelajari perdagangan valuta asing, lalu dengan cepat beralih ke reksadana. Kemudian, aku belajar cara berinvestasi dalam ekuitas, kontrak berjangka, dan opsi. Aku menyaksikan beberapa temanku mencoba peruntungan mereka di pasar saham dan mendapat puluhan ribu dalam semalam—beberapa bahkan menjadi jutawan hanya dalam waktu beberapa tahun. Aku dilanda kecemburuan dan terus-menerus berkhayal menjadi kaya suatu hari nanti, sama seperti mereka. Pada saat itu, aku menghabiskan tiga atau empat jam setiap hari setelah bekerja untuk mengikuti perkembangan pasar. Bahkan saat bekerja, aku tidak bisa berhenti memikirkan perdagangan kontrak berjangka dan terus-menerus memeriksa portofolioku. Oleh karena pasar kontrak berjangka bisa sangat fluktuatif, aku penuh kecemasan—jantungku akan mulai berdetak kencang dan telapak tanganku akan berkeringat setiap kali akan melakukan pesanan. Ketakutan terbesarku adalah bangun pada suatu pagi dan mendapati bahwa seluruh kekayaanku menguap dalam semalam. Akibatnya, aku menderita insomnia dan sering kehilangan nafsu makan. Setelah begitu lama asyik dalam pasar saham, aku kehilangan minat pada pekerjaan, persahabatan, dan asmara. Jadi, aku mengundurkan diri dari pekerjaanku untuk mencurahkan seluruh fokusku pada pasar saham.
Suatu hari, aku mendapat kabar tentang sebuah peluang investasi yang mengklaim akan menghasilkan laba 8% per bulan. Berpikir bahwa inilah kesempatanku untuk mendapatkan keuntungan besar dengan mudah, dan dikuasai oleh hasrat, aku menaruh semua tabunganku ke dalam investasi ini. Namun, sebelum investasi tersebut dapat mulai membayar dividen, semuanya terbongkar dan investasi ini terungkap sebagai skema Ponzi. Tidak peduli perolehan bunga yang dijanjikan—pada akhirnya, aku bahkan tidak dapat mengganti uang pokoknya, yang tampaknya menguap ke udara. Selama tahun-tahun itu, aku rugi ratusan ribu dolar di pasar saham. Aku hancur. Namun meskipun demikian, aku masih belum merasa cukup. Aku melihat bahwa dua atau tiga apartemen yang aku investasikan sebelumnya nilainya terus meningkat setiap tahun, dan aku malu dengan diri sendiri jika tidak membeli lebih banyak lagi. Jadi, aku maju dan mengambil pinjaman lebih banyak lagi untuk membeli dua apartemen mewah di daerah kelas atas. Kemudian, entah dari mana, pasar lahan yasan menurun drastis, dan tidak ada pembeli yang dapat ditemukan. Setelah serangkaian investasi yang gagal, kehilangan semua kepemilikan dalam lahan yasan, dan terlibat banyak utang, aku merasa seolah-olah semua kerja kerasku selama beberapa tahun terakhir tidak menghasilkan apa-apa. Aku hancur. Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan rasa sakit di hatiku dan, di ambang gangguan fisik dan mental, aku jatuh ke lantai dan menangis selama dua jam.
Tak lama setelah itu, aku menemukan sebuah artikel dalam berita tentang seorang wanita muda profesional lajang yang, seperti aku, juga telah berhasil sebagai seorang eksekutif bisnis yang kaya. Seperti aku, dia juga telah membeli beberapa properti mewah pada malam sebelum kehancuran lahan yasan dan kehilangan hampir seperempat juta dolar hanya dalam waktu enam bulan. Dalam keputusasaan, dia naik ke lantai atas gedung kantornya dan melompat bunuh diri. Membaca berita itu benar-benar membuatku terkejut. Bagaimana mungkin seorang wanita muda yang sukses seperti itu mengakhiri hidupnya karena beberapa ratus ribu dolar? Berita itu membuatku benar-benar bingung. Apa sih artinya memiliki kehidupan yang sukses? Apakah mengejar popularitas dan keuntungan benar-benar kunci kebahagiaan?
Syukur pada Tuhan, pada saat aku kesakitan dan putus asa, keselamatan Tuhan pada akhir zaman menghampiriku. Aku membaca firman Tuhan:"Apa yang Iblis gunakan untuk membuat manusia tetap berada dalam kendalinya? (Ketenaran dan keuntungan.) Jadi, Iblis menggunakan ketenaran dan keuntungan untuk mengendalikan pikiran manusia, sampai satu-satunya yang orang pikirkan adalah ketenaran dan keuntungan. Mereka berjuang demi ketenaran dan keuntungan, menderita kesukaran demi ketenaran dan keuntungan, menanggung penghinaan demi ketenaran dan keuntungan, mengorbankan semua yang mereka miliki demi ketenaran dan keuntungan, dan mereka akan melakukan penilaian atau mengambil keputusan demi ketenaran dan keuntungan. Dengan cara ini, Iblis mengikat orang dengan belenggu yang tak kasat mata, dan mereka tidak punya kekuatan ataupun keberanian untuk membuang belenggu tersebut. Mereka tanpa sadar menanggung belenggu ini dan berjalan maju dengan susah payah. Demi ketenaran dan keuntungan ini, umat manusia menjauhi Tuhan dan mengkhianati Dia dan menjadi semakin jahat. Jadi, dengan cara inilah, generasi demi generasi dihancurkan di tengah ketenaran dan keuntungan Iblis." "Ketenaran dan kekayaan yang orang dapatkan di dunia materiel memberi kepuasan yang sementara, kenikmatan yang segera berlalu, kemudahan yang semu; dalam prosesnya, semua itu menyebabkan orang kehilangan arah. Dan karenanya, orang-orang, saat mereka berdesakan di tengah lautan manusia, saat mendambakan kedamaian, kenyamanan, dan ketenangan hati, mereka diliputi oleh gelombang demi gelombang. Jika orang belum menemukan pertanyaan yang paling penting untuk dipahami—dari mana mereka berasal, mengapa mereka hidup, ke mana mereka akan pergi, dan lain sebagainya—mereka tergoda oleh ketenaran dan kekayaan, disesatkan dan dikendalikan oleh semua itu dan tersesat tanpa bisa kembali lagi. Waktu berlalu; bertahun-tahun lewat dalam sekejap mata dan sebelum menyadarinya, orang telah mengucapkan selamat tinggal pada masa-masa terbaik dalam hidupnya."
Setelah merenungkan firman Tuhan dengan saksama, akhirnya aku menyadari bahwa mengejar popularitas dan keuntungan, pada kenyataannya, merupakan jalan yang salah—bahkan, itu adalah cara Iblis untuk mengikat manusia dengan belenggu yang tidak terlihat. Dalam pengejaran popularitas dan keuntungan yang keras kepala, orang-orang kehilangan diri mereka sendiri dan menjadi semakin rusak, sehingga mengarah pada kehidupan yang penuh dengan semakin banyak rasa sakit. Aku memikirkan kembali hukum rimba yang telah aku alami selama bertahun-tahun dengan gagasan seperti berusaha menonjol dari yang lain dan"orang-orang berjuang untuk naik, tetapi air mengalir ke bawah." Seluruh tujuan hidupku adalah menduduki jabatan tinggi, dan aku pikir kedudukan seseorang dalam masyarakat ditentukan oleh pekerjaan dan kekayaan bersih mereka. Dengan sikap ini, aku berkonsentrasi mengejar tujuan meningkatkan statusku dan mengumpulkan uang, sesulit apa pun segala sesuatunya atau sebesar apa pun rasa sakit yang aku derita. Ketika pertama kali memasuki dunia kerja, aku tanpa lelah bekerja lembur siang dan malam untuk mendapatkan kesempatan dipromosikan. Aku sering sampai di rumah lewat tengah malam, sehingga bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan pacaran. Tak lama kemudian, tubuhku mulai mengirimkan tanda-tanda peringatan bahwa aku kelelahan. Ketika aku tidak bisa dipromosikan karena tidak memiliki gelar yang lebih tinggi, aku menolak berdamai dengan status quo dan sebaliknya berhenti dari pekerjaanku untuk belajar di luar negeri, bekerja keras untuk meningkatkan pengetahuanku. Setelah mendapatkan gelar master, meskipun akhirnya aku mendapatkan pekerjaan yang selalu aku inginkan dan menjalani gaya hidup mewah, aku masih tidak puas, jadi aku memutuskan untuk mengambil langkah lebih jauh dengan menjadi seorang wirausahawan. Dalam upaya untuk menjadi kaya dengan cepat, aku bahkan berhenti dari pekerjaanku untuk mencurahkan seluruh waktu dan energiku pada pasar saham. Akhirnya, aku mempertaruhkan seluruh tabungan seumur hidupku dalam skema spekulatif yang membuatku tidak punya uang dan terbebani utang. Kemudian, dalam upaya untuk bangkit kembali, aku mengambil lebih banyak utang untuk berinvestasi dalam lahan yasan. Pada akhirnya, aku tidak mendapatkan apa-apa. Meskipun aku bisa saja memilih untuk menjalani kehidupan yang sederhana dan tanpa beban, aku malah mengejar popularitas dan keuntungan dengan cara apa pun, terbujuk oleh hukum rimba Iblis yang menyatakan"orang-orang berjuang untuk naik, tetapi air mengalir ke bawah," dan"tanpa kerja keras, tidak ada keberhasilan." Tak lama setelah mendapatkan sesuatu, aku menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi. Aku tidak pernah puas dengan status quo, dan ketika aku menderita kerugian, rasanya semakin menyakitkan. Seperti lalat yang terperangkap dalam jaring laba-laba, aku benar-benar terperangkap dalam pengejaranku terhadap popularitas dan keuntungan tanpa ada kesempatan untuk menarik napas. Akhirnya menjadi jelas bagiku bahwa mengejar popularitas dan keuntungan tidak memberiku kebahagiaan. Sebaliknya, ini adalah kemerosotan yang tak berkesudahan sampai kehilangan diriku sendiri, mengorbankan kesehatanku, kehilangan kehidupan normal, dan berkubang dalam keputusasaan, semuanya disebabkan oleh pengejaran popularitas dan keuntungan. Selain itu, aku menyadari mengapa wanita muda sukses yang aku baca di berita itu bunuh diri setelah kehilangan seperempat juta dolar. Itu sepenuhnya hasil dari memiliki pandangan yang salah tentang kehidupan dan konsekuensi dari mengejar popularitas dan keuntungan. Mengalami kesadaran ini memberiku keinginan untuk menentang Iblis; kesadaran ini membuatku ingin bersungguh-sungguh mengejar kebenaran dan tidak pernah lagi membiarkan diriku tersesat dalam ketergesaan yang gila demi popularitas dan keuntungan.
Namun, setelah beberapa saat, aku memperhatikan bahwa setiap kali aku melihat orang lain berhasil dalam hidupnya, memiliki keluarga yang luar biasa, dan menikmati karier yang hebat, aku selalu merasa gagal sebagai pribadi karena aku masih lajang dan menganggur. Selanjutnya, nafsu ambisiusku muncul lagi. Aku kembali menginvestasikan sejumlah besar uang yang sekali lagi membuat tabunganku yang susah payah kuperoleh terkuras habis. Baru pada saat itulah aku menyadari betapa dalamnya aku terjerat dalam pengejaran popularitas dan keuntungan ini. Tanpa kebenaran, aku membiarkan diriku terbuka lebar untuk dimanipulasi oleh Iblis. Jauh di lubuk hati, aku berseru agar Tuhan menyelamatkanku, meminta Dia untuk membantuku melepaskan diri dari perangkap popularitas dan keuntungan ini. Kemudian, aku memikirkan seseorang dalam keluargaku yang dikagumi oleh semua orang. Dia sangat kaya, putranya memiliki karier yang sukses, dan baru tahun lalu dia dengan gembira pergi ke Amerika Serikat untuk membantu merawat cucunya. Namun kemudian, tahun ini, secara tak terduga dia didiagnosis menderita penyakit mematikan. Terpuruk hingga berbaring di ranjang rumah sakit, dia kesepian dan tak berdaya, hanya menunggu hidupnya berakhir. Kemudian aku memikirkan ibu dari saudari iparku. Ketika masih muda, dia dan suaminya telah menciptakan kehidupan untuk diri mereka sendiri dari nol, termasuk mendapatkan uang dengan membuka pabrik kecil dan membeli beberapa properti sewaan. Namun pada saat itu, dia juga terserang penyakit dan tidak bisa lagi mengurus dirinya sendiri. Dia telah tinggal beberapa tahun terakhir di panti jompo dan menjual semua properti lahan yasannya, menghabiskan hampir setiap sen terakhir yang telah ditabungnya sejak dia dan suaminya masih muda—akhir yang malang untuk usia senjanya. Lalu ada salah seorang teman dekatku yang aku kenal selama beberapa puluh tahun. Dia seorang eksekutif tingkat tinggi di perusahaannya tetapi kemudian didiagnosis menderita kanker payudara dan harus meninggalkan pekerjaannya. Meskipun dia akhirnya mengalahkan kanker melalui kemoterapi, pengobatannya akhirnya menghabiskan banyak dari tabungan hasil jerih payahnya. Semua teman dan anggota keluarga ini adalah wanita yang memiliki karier yang sangat sukses dan mencapai kedudukan sosial tertentu. Namun demikian, sebanyak apa pun popularitas dan keuntungan yang mereka raih, ketika tiba saatnya untuk menghadapi penyakit dan kematian, mereka semua tampak sangat lemah, sangat kecil. Melihat apa yang terjadi pada mereka sangat emosional bagiku. Sebagusnya apa pun kita memilikinya, sebaik apa pun diri kita, sebanyak apa pun orang yang menjilat kita—tidak ada yang bisa ditukar dengan kesehatan prima atau memberi kita kehidupan. Lalu, apa artinya mengejar popularitas dan keuntungan?
Aku membaca bagian berikut ini dari firman Tuhan:"Orang-orang menghabiskan hidup mereka mengejar uang dan ketenaran; mereka mencengkeram erat kedua hal ini, menganggap hal-hal ini sebagai satu-satunya sarana pendukung mereka, seakan dengan memiliki hal-hal tersebut mereka bisa terus hidup, bisa terhindar dari kematian. Namun, hanya ketika mereka sudah hampir meninggal, barulah mereka sadar betapa jauhnya hal-hal itu dari mereka, betapa lemahnya mereka ketika berhadapan dengan kematian, betapa rapuhnya mereka, betapa sendirian dan tak berdayanya mereka, tanpa tempat untuk berpaling. Mereka menyadari bahwa hidup tidak bisa dibeli dengan uang atau ketenaran, bahwa sekaya apa pun seseorang, setinggi apa pun kedudukan mereka, semua orang sama-sama miskin dan tidak berarti ketika berhadapan dengan kematian. Mereka menyadari bahwa uang tidak bisa membeli hidup, bahwa ketenaran tidak bisa menghapus kematian, bahwa baik uang maupun ketenaran tidak dapat memperpanjang hidup orang barang semenit atau sedetik pun." Ketika aku membandingkan firman Tuhan dengan apa yang telah dilalui oleh teman-teman dan anggota keluargaku, aku sadar bahwa hal-hal seperti uang, status sosial, mobil mewah, dan rumah mewah tidak memiliki nilai intrinsik. Kita tidak membawa apa pun ke dalam dunia ini saat kita dilahirkan, dan bisa dipastikan kita tidak dapat membawa apa pun darinya saat kita mati—semuanya fana. Bahkan, tidak satu pun dari hal-hal ini yang berguna saat kita bersiap untuk menemui kematian. Semuanya tidak memberi kita kedamaian ataupun kegembiraan, atau memberi kita pelepasan diri dari kematian. Seperti Firman Tuhan Yesus:"Karena apa untungnya jika seseorang mampu mendapatkan seluruh dunia, dan kehilangan jiwanya sendiri? Atau apa yang bisa diberikan seseorang sebagai ganti jiwanya?" (Matius 16:26). Sekali lagi, aku memikirkan fakta bahwa meskipun aku telah berjuang dan bekerja keras selama bertahun-tahun, mendapatkan popularitas dan keuntungan, memenangkan persetujuan dan rasa hormat dari orang lain, dan secara singkat memuaskan kesombonganku sendiri, hal-hal ini tidak pernah memberiku kebahagiaan sejati. Sebaliknya, semua hanya berguna menggembungkan hasratku dan membuatku mengalami rasa sakit fisik dan kekosongan dalam hatiku. Saat memikirkan hal ini, aku berpaling kepada Tuhan dan berdoa:"Tuhan! Sekarang aku sadar bahwa aku telah memilih jalan yang salah. Dalam mengejar popularitas dan keuntungan, aku kembali jatuh ke dalam perangkap Iblis. Tuhan! aku bertobat kepada-Mu, dan berdoa semoga Engkau akan menuntunku di jalan masa depanku."
Suatu ketika, saat aku sedang melakukan renungan spiritualku, aku membaca firman Tuhan ini:"Jika orang memandang hidup sebagai kesempatan untuk mengalami kedaulatan Sang Pencipta dan mengenal otoritas-Nya, jika orang melihat hidupnya sebagai kesempatan langka untuk melakukan tugasnya sebagai manusia ciptaan dan menyelesaikan misinya, ia pasti akan memiliki pandangan yang benar tentang hidup, pasti akan menjalani kehidupan yang diberkati dan dibimbing oleh Sang Pencipta, pasti akan berjalan dalam terang Sang Pencipta, pasti akan mengenal kedaulatan Sang Pencipta, pasti akan tunduk di bawah kekuasaan-Nya, dan pasti menjadi saksi tentang perbuatan-Nya yang ajaib, saksi tentang otoritas-Nya. Tentu saja, orang seperti itu pasti akan dikasihi dan diterima oleh Sang Pencipta." Setelah membaca firman dari Tuhan ini, akhirnya aku menyadari apa hal paling bermakna yang harus dikejar seseorang dalam kehidupan mereka. Kita diciptakan oleh Tuhan, dan semua yang kita miliki berasal dari Tuhan. Kita harus berusaha mengenal Tuhan dan menjadi seseorang yang menyembah dan menaati-Nya. Tuhan memiliki rencana untuk setiap orang, urusan, dan benda dalam kehidupan kita sehari-hari sehingga kita dapat mengalami kedaulatan-Nya dan menjadi saksi atas perbuatan-Nya. Dengan melakukan itu, kita dapat hidup untuk menyenangkan Tuhan dan menjadi saksi bagi-Nya. Inilah satu-satunya cara untuk menerima pujian Tuhan, dan satu-satunya cara untuk menjalani kehidupan yang benar-benar menyenangkan dan damai. Sejak memahami apa kehendak Tuhan itu, sekarang aku mengabdikan diriku untuk gereja dan tidak lagi berjuang untuk mendapatkan popularitas dan keuntungan. Aku hanya bermitra dengan teman-teman untuk melakukan beberapa transaksi bisnis kecil dan menangani investasi sepele di sana-sini. Sebagai pengganti kemewahan dan keglamoran popularitas dan keuntungan, aku telah menemukan persekutuan dengan saudara-saudariku saat kami bersama-sama mengalami dan mengetahui firman Tuhan. Ini telah memberiku perasaan damai yang sejati di dalam hatiku, dan perasaan kebebasan dan pembebasan. Terutama, melalui pengalamanku sendiri, Juga telah merasakan bahwa hanya memiliki iman kepada Tuhan dan mengejar kebenaran adalah kebahagiaan sejati! Syukur pada Tuhan! Amin!